deklarator PKB

deklarator PKB

Kamis, 01 April 2010

Mati Syahid dan Pemahaman Imporan

Kesukaan meniru atau ‘mengimpor’ sesuatu dari luar negeri mungkin sudah menjadi bawaan setiap bangsa dari negeri berkembang; bukan khas bangsa kita saja. Pokoknya asal datang dari luar negeri. Seolah-olah semua yang dari luar negeri pasti hebat. Tapi barangkali karena terlalu lama dijajah, bangsa kita rasanya memang keterlaluan bila meniru dari bangsa luar.

Sering hanya asal meniru; taklid buta, tanpa mempertimbangkan lebih jauh, termasuk kepatutannya dengan diri sendiri. Ingat, saat orang kita meniru mode pakaian, misalnya. Tidak peduli tubuh kerempeng atau gendut, pendek atau jangkung; semuanya memakai rok span atau celana cutbrai, meniru bintang atau peragawati luar negeri.

Pada waktu pak Harto dan orde barunya ingin membangun ekonomi, sepertinya juga asal meniru negara maju; tanpa melihat jatidiri bangsa ini sendiri yang pancasilais (Padahal waktu itu ada yang namanya P4). Maka, meski tanpa ‘kapital’, selama lebih 30 tahun negeri kita seperti negeri kapitalis dan akibatnya, bangsa kita pun bahkan sampai sekarang sulit untuk tidak disebut bangsa yang materialistis.

Nah, ketika ada tren baru dari luar negeri yang berkaitan dengan keagamaan pun banyak diantara kita yang taklid buta. Kalau taklid soal mode, madzhabnya Amerika dan Eropa; soal tari dan nyanyi banyak yang berkiblat ke India; maka dalam tren keagamaan ini, agaknya banyak yang bertaklid kepada madzhab Timur Tengah, Iran, atau Afghanistan.

Seperti pentaklidan tren baru dari luar negeri yang selalu dimulai dari kota dan baru kemudian menjalar ke desa-desa, demikian pula tren yang berkaitan dengan keagamaan ini. Seperti takjubnya sementara orang kota terhadap tren mode dari luar negeri --atau takjubnya sementara orang desa terhadap tren mode dari kota-- dan langsung mengikutinya, orang-orang Islam kota atau mereka yang punya persinggungan dengan luar negeri, agaknya juga banyak yang demikian. Mereka melihat dan takjub melihat keberagamaan yang dari luar negeri yang sama sekali lain dengan yang selama ini dianut orang-orang tua mereka disini. Maka, seperti halnya orang-orang yang mengikuti mode baru dari luar negeri, mereka ini pun bangga dengan model keberagamaan baru mereka. Termasuk kecenderungan merendahkan orang yang tidak mengikuti ‘tren baru’ mereka itu.

Karena taklid buta, karena asal meniru tanpa mempertimbangkan lebih jauh, sering kali lucu dan sekaligus memprihatinkan. Ambil contoh misalnya soal jihad. Ada beberapa orang yang hanya melihat perjuangan bangsa Palestina dan Afghanistan, misalnya, yang berjihad --seperti kita dulu ketika melawan kolonialis Belanda-- dengan segala cara; termasuk mengorbankan nyawa sendiri. Lalu mereka ikutan melawan musuhnya Palestina dan Afghanistan di sini dengan cara yang sama. Mereka lupa bahwa jihad seperti yang dilakukan dan diajarkan Rasulullah SAW ada aturan dan etikanya.

Orang Palestina yang melakukan bom bunuh diri untuk melawan kolonialis Israel, bila terbunuh bisa disebut syahid. Dalam hadis riwayat imam Ahmad dari Sa’ied Ibn Zaid, disebutkan bahwa orang yang terbunuh membela haknya atau keluarganya atau agamanya, adalah syahid. Orang yang mati syahid , seperti disebutkan dalam beberapa hadis, berhak mendapatkan enam anugerah: 1. Diampuni dosanya sejak tetes darahnya yang pertama; 2. Bisa melihat tempatnya di sorga; 3. Dihiasi dengan perhiasan iman; 4. Dikawinkan dengan bidadari; 5. Dijauhkan dari siksa kubur; 6. Dan aman dari kengerian Yaumil Faza’il akbar .

Tapi orang yang melakukan bom bunuh diri di Indonsia yang tidak sedang berperang melawan siapa-siapa dan mayoritas penduduknya beragama Islam, jelas namanya bunuh diri biasa yang dilarang oleh Allah SWT, ditambah tindakan kriminalitas luar biasa: membuat kerusakan. Banyak sekali ayat Al-Quran yang menunjukkan dilarangnya berbuat kerusakan di muka bumi. Dalam perang melawan orang-orang kafir sekali pun, ada batasan-batasannya; misalnya tidak boleh membunuh perempuan dan anak-anak, merusak lingkungan, dsb.

Allah berfirman: “Walaa taqtuluu anfusakum..” (Q. 4. An-Nisaa: 29). “Dan janganlah kamu membunuh dirimu..” Menurut para mufassir, larangan membunuh diri ini termasuk juga membunuh orang lain; karena membunuh orang lain termasuk membunuh diri sendiri, sebab umat merupakan satu kesatuan. Larangan ini sangat jelas sekali. Orang yang membunuh dirinya sendiri dan sekaligus orang-orang lain yang tidak berdosa, jelas sangat jauh untuk dapat disebut syahid? Sungguh keterlaluan mereka yang mencekokkan doktrin yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW. Apalagi hanya karena taklid buta terhadap tren dari luar negeri . Dan sungguh naïf mereka yang –mengaku umat Muhammad-- dengan mudah terpikat hanya oleh iming-iming bidadari, hingga mengabaikan akal sehat dan tega menghancurkan nilai agung kemanusiaan yang ditegakkan Rasulullah SAW.
Wallahu a’lam.

Pemimpin yang Rendah Hati

Oleh: KH Dr. A. Mustofa Bisri

Suatu ketika seorang laki-laki menghadap Nabi Muhammad SAW dan gemetaran –oleh wibawa beliau-- saat berbicara. Nabi SAW pun berkata menenangkan: “Tenang saja! Aku bukan raja. Aku hanyalah anaknya perempuan Qureisy yang biasa makan ikan asin.” (Dalam hadisnya, menggunakan kata qadiid yang maknanya dendeng, makanan sederhana di Arab. Saya terjemahkan dengan ikan asin yang merupakan makanan sederhana di Indonesia).


Ketika Rasulullah SAW datang di Mekkah, setelah sekian lama hijrah, sahabat Abu Bakar Siddiq r.a. sowan bersama ayahandanya, Utsman yang lebih terkenal dengan julukan Abu Quhaafah. Melihat sahabat karib sekaligus mertuanya bersama ayahandanya itu, Rasulullah SAW pun bersabda “Wahai Abu Bakar, mengapa Sampeyan merepotkan orang tua? Mengapa tidak menunggu aku yang sowan beliau di kediamannya?”

***
Sahabat Abdurrahman Ibn Shakhr yang lebih dikenal dengan Abu Hurairah r.a. bercerita: “Suatu ketika aku masuk pasar bersama Rasulullah SAW. Rasulullah berhenti, membeli celana dalam dan berkata: ‘Pilihkan yang baik lho!’ (Terjemahan dari aslinya: Rasulullah bersabda kepada si tukang timbang, ‘Timbang dan murahin – bahasa Jawa: sing anget—‘. Boleh jadi waktu itu, beli celana pun ditimbang). Mendengar suara Rasulullah SAW, si pedagang celana pun melompat mencium tangan beliau. Rasulullah menarik tangan beliau sambil bersabda: ‘Itu tindakan orang-orang asing terhadap raja mereka. Aku bukan raja. Aku hanyalah laki-laki biasa seperti kamu.’ Kemudian beliau ambil celana yang sudah beliau beli. Aku berniat akan membawakannya, tapi beliau buru-buru bersabda: ‘Pemilik barang lebih berhak membawa barangnya.’”

***
Itu beberapa cuplikan yang saya terjemahkan secara bebas dari kitab Nihayaayat al-Arab-nya Syeikh Syihabuddin Ahmad Ibn Abdul Wahhab An-Nuweiry (677-733 H) jilid ke 18 hal 262-263. Saya nukilkan cuplikan-cuplikan kecil itu untuk berbagi kesan dengan Anda. Soalnya saya sendiri, saat membacanya, mendapat gambaran betapa biasa dan rendah hatinya pemimpin agung kita Nabi Muhammad SAW.

Dalam kitab itu juga disebutkan bahwa Rasulullah SAW sering naik atau membonceng kendaraan paling sederhana saat itu; yaitu keledai. Rasulullah SAW suka menyambangi dan duduk bercengkerama dengan orang-orang fakir-miskin. Menurut istri terkasih beliau, sayyidatina ‘Aisyah r.a dan cucu kesayangan beliau Hasan Ibn Ali r.a, Rasulullah SAW mengerjakan pekerjaan rumah; membersihkan dan menambal sendiri pakaiannya; memerah susu kambingnya; menjahit terompahnya yang putus; menyapu dan membuang sampah; memberi makan ternak; ikut membantu sang istri mengaduk adonan roti; dan makan bersama-sama pelayan.
Sikap dan gaya hidup sederhana sebagaimana hamba biasa itu agaknya memang merupakan pilihan Rasulullah SAW sejak awal. Karena itu dan tentu saja juga karena kekuatan pribadi beliau, bahkan kebesaran beliau sebagai pemimpin agama maupun pemimpin Negara pun tidak mampu mengubah sikap dan gaya hidup sederhana beliau. Bandingkan misalnya, dengan kawan kita yang baru menjadi kepala desa saja sudah merasa lain; atau ikhwan kita yang baru menjadi pimpinan majlis taklim saja sudah merasa beda dengan orang lain.

Memang tidak mudah untuk bersikap biasa; terutama bagi mereka yang terlalu ingin menjadi luar biasa atau mereka yang tidak tahan dengan ‘keluarbiasaan’. Apalagi sering kali masyarakat juga ikut ‘membantu’ mempersulit orang istimewa untuk bersikap biasa. Orang yang semula biasa dan sederhana; ketika nasib baik mengistimewakannya menjadi pemimpin, misalnya, atau tokoh berilmu atau berada atau berpangkat atau terkenal, biasanya masyarakat di sekelilingnya pun mengelu-elukannya sedemikian rupa, sehingga yang bersangkutan terlena dan menjadi tidak istimewa. Keistimewaan orang istimewa terutama terletak pada kekuatannya untuk tidak terlena dan terpengaruh oleh keistimewaannya itu. Keistimewaan khalifah Allah terutama terletak pada kekuatannya untuk tidak terlena dan terpengaruh oleh kekhalifahannya, mampu menjaga tetap menjadi hamba Allah.

Keistimewaan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin antara lain karena beliau tidak terlena dan terpengaruh oleh keistimewaannya sendiri. Kita pun kemudian menyebutnya sebagai pemimpin yang rendah hati.

Nabi Muhammad SAW adalah contoh paling baik dari seorang hamba Allah yang menjadi khalifahNya. Beliau sangat istimewa justru karena sikap kehambaannya sedikit pun tidak menjadi luntur oleh keistimewaannya sebagai khalifah Allah.

Selawat dan salam bagimu, ya Rasulallah, kami rindu!

Sumber: www.gusmus.net

Kyai dan Pesantren Indonesia

Oleh: KH.A. Mustofa Bisri

Seperti mengenai banyak hal yang lain, kalau kita berbicara tentang kiai dan pesantren, kita terpaksa harus membuat katagori pembeda: kiai sekarang atau kiai dulu; pesantren sekarang atau pesantren dulu.

Soalnya memang terdapat banyak perbedaan antara kiai sekarang dengan kiai di zaman dulu. Demikian pula dengan pesantren; apalagi sekarang ini banyak pesantren baru yang sama sekali berbeda bahkan sering ‘ideologi’nya bertolak belakang dengan pesantren di zaman dulu.

Kiai di zaman dulu –biasanya ‘pemilik’ pesantren—rata-rata adalah orang yang di samping memiliki ilmu agama lebih dari kebanyakan masyarakatnya, memiliki kecintaan yang mendalam kepada tanah air dan umatnya. Para kiai di zaman dulu, membangun pondok pesantren mereka sendiri untuk menampung santri-santrin mereka yang menimba ilmu darinya. Santri-santri mereka, tidak hanya diberi ilmu agama, tetapi dididik untuk mengamalkan ilmu yang mereka dapat. Menurut mereka, iIlmu tidak ada gunanya bila tidak diamalkan.
Kitab-kitab kuning yang diajarkan kiai-kiai kepada santri-santrinya adalah kitab-kitab yang umumnya merupakan penjabaran dari Kitab suci AlQuran dan Sunnah Rasulullah SAW menurut pemahaman Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Paham yang mengajarkan Islam rahmatan lil’aalamiin dan sikap hidup tawassuth wal I’tidaal, sikap tengah-tengah dan tidak ekstrem.

Para santri juga dididik untuk mencintai tanah air mereka. Hubbul wathan minal iimaan, “Cinta tanah air adalah bagian dari iman”, merupakan slogan di kalangan kiai dan pesantren tempo doeloe. Di zaman penjajahan, banyak kiai yang menjadikan pesantrennya sebagai markas perlawanan terhadap penjajah. Banyak kiai yang gugur dan menjadi penghuni penjara pemerintah kolonialis dalam rangka membela tanah air. Dengan berbagai dalil ‘kitab kuning’, para kiai mengobarkan semangat rakyat melawan penjajah . Fatwa jihad melawan penjajah oleh Kiai Hasyim Asyari Tebuireng Jombang, misalnya, telah mengorbarkan semangat arek-arek Jawa Timur untuk melawan Sekutu di Surabaya. Kiai Subki Parakan Temanggung dengan bambu runcingnya yang terkenal itu, menggembleng mental pejuang-pejuang kemerdekaan. Kiai Baidlowi Lasem mengutus beberapa santrinya untuk memata-matai Belanda yang konon mendarat di daerah Sayung.

Itu hanyalah sekedar contoh bagaimana para kiai pesantren dulu mengajarkan, mendidik, dan mencontohkan sikap patriotisme. Di zaman kebangkitan, para kiai pesantren medirikan organisasi yang mereka namakan Nahdlatul Wathan yang artinya Kebangkitan Tanah air.
Maka tidak heran bila beberapa kiai yang –ketahuan-- kemudian diangkat menjadi pahlawan nasional. Bahkan Mohammad Asad Syihab, seorang wartawan Arab yang di zaman revolusi tinggal di Indonesia, di antara buku-bukunya tentang tokoh-tokoh nasional Indonesia yang diterbitkan di Kuwait, menulis buku berjudul Al-‘Allaamah Mohammad Hasyim Asy’ari Wadli’u Labinati Istiqlaali Indonesia. Terjemah harfiahnya: Mahakiai Mohammad Hasyim Asy’ari Peletak Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia.

Para kiai ‘model dulu’ selalu menanamkan kepada santri-santrinya bahwa mereka adalah orang Indonesia yang beragama Islam; bukan orang Islam yang kebetulan berada di Indonesia. Orang Islam yang kebetulan di Indonesia boleh jadi tidak peduli apapun yang menimpa Indonesia, tapi orang Indonesia yang beragama Islam tidak bisa tidak memikirkan dan berjuang bagi kebaikan Indonesia. Kecuali mungkin orang yang terbalik akalnya.

Alhamdulillah, menurut pengamatan saya, minimal para kiai dan pesantren pelanjut generasi sebelumnya masih tetap mempertahankan pemahaman tentang Islam rahmatan lil’aalamiin dan sikap hidup tawassuth wal I’tidaal, sikap tengah-tengah dan tidak ekstrem, serta memiliki rasa keIndonesiaan yang tebal seperti kiai dan pesantren di zaman dulu.

Akhir-akhir ini orang dibingungkan dengan munculnya sikap-sikap kasar bahkan bengis dari kalangan yang juga menyebut diri kaum muslimin. Munculnya ustadz-ustadz yang dari raut muka hingga tindakan dan ucapannya membuat orang bergidik. Ada jama’ah yang tampak bangga dengan keangkerannya. Bahkan ada yang tidak masuk akal: perbuatan merusak yang tegas-tegas dilarang oleh kitab suci Al-Quran justru dianggap jihad atau minimal dianggap amar makruf nahi munkar. Bahkan ada yang tega meledakkan bom di tengah-tengah keramaian. Kalau yang melakukan kekerasan dan pengrusakan itu bukan orang Indonesia, mungkin kita bisa mengatakan itu pihak yang iri dan dengki kepada kita. Tapi kalau itu orang Indonesia sendiri, kita jadi bingung.

Kalau jama’ah yang merupakan sekedar anak-anak-buah, kita masih bisa mengerti. Tapi mereka yang merupakan imam-imam dan ustadz-ustadz itu masakan tidak mengenal pemimpin agung panutan umat Islam Nabi Muhammad SAW yang bassam, wajahnya tersenyum menyenangkan, yang bicaranya lembut, yang sikapnya santun, yang penuh kasih sayang, yang bergaul dengan penuh adab, yang beramar-makruf dengan baik dan bernahi-munkar tidak dengan munkar, yang berjihad dengan aturan dan etika?

Saya pikir, inilah yang merupakan tantangan utama kiai dan pesantren saat ini. Mereka --yang memiliki sanad, mata rantai keIslaman sampai ke Rasulullah SAW-- dituntut untuk tampil sebagaimana kiai dan pesantren dulu untuk mengenalkan kerahmatan Islam dan kesantunan serta kasih sayang Nabi Muhammad SAW. Jangan sampai generasi kita dididik oleh mereka yang yang –sadar atau tidak, karena kepentingan atau kebodohan—justru ingin mencemarkan nama baik Islam dan merusak tanah air kita.(www.gusmus.net)

Mencari Pengganti Gus Dur

Pada 1950-an, KH. Wahid Hasjim, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang juga ayah almarhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pernah mengeluh. Dia mengatakan bahwa “mencari seorang akademisi di dalam NU ibarat mencari tukang es pada pukul 1 malam”.

Begitu sulit mencari “orang pandai” di dalam NU sehingga memaksa para pemimpin organisasi ini merekrut orangorang luar untuk dijadikan anggota NU. Ketika Partai NU keluar sebagai pemenang ketiga pada Pemilu 1955, mereka kesulitan mencari orang yang bisa dikirim ke parlemen.

Untuk mengatasi krisis ini, mereka lalu merekrut beberapa tokoh dari luar seperti Prof Sunarjo (ekonom),Asrul Sani (sutradara), Usmar Ismail (seniman), dan dua orang keturunan Tionghoa Tan Kiem Liong dan Tan Eng Hong (pengusaha) untuk bergabung dengan NU. Saat itu, mencari orang pandai di NU benar-benar seperti mencari tukang es pada jam 1 malam. Amat bisa dimaklumi kalau pada tahun-tahun itu NU mengalami defisit sumber daya manusia.

Sebetulnya bukan tidak ada “orang pandai” di dalam NU. NU sendiri adalah organisasi ulama dan ulama dalam bahasa Arab berarti “orang berilmu”atau “ilmuwan”.Namun, kata “ulama” dalam NU telanjur direduksi hanya menjadi “ilmuwan agama” atau orang yang ahli tentang agama saja. Karena keahlian mereka sangat terbatas, NU mengalami kesulitan ketika jam’iyah ini bertransformasi dari sebuah organisasi keagamaan menjadi partai politik. Partai politik membutuhkan wakil yang terdiri atas para ahli.

Kalau tidak, mereka akan kesulitan menyampaikan aspirasi rakyat di parlemen. Belum lagi harus berhadapan dengan lawan-lawan politik dari berbagai latar belakang profesi dan keahlian. Pada 1950-an, tokohtokoh Islam yang terdidik dan ahli dalam berbagai bidang ilmu (hukum,kedokteran, sains, dll) umumnya dipegang oleh orang-orang Masyumi, selain beberapa yang bergabung ke dalam PNI dan PSI.Sebagian besar tokoh Masyumi adalah orangorang Islam yang pernah menjalani pendidikan modern, baik di Belanda maupun di sekolah-sekolah Belanda yang ada di Indonesia.

Adapun orang NU hanyalah tamatan pesantren yang tidak menguasai ilmu-ilmu umum. Kondisi mengenaskan itu mulai berubah pada tahun 1980-an ketika generasi muda NU berbondong- bondong memasuki perguruan tinggi di kota-kota besar. Urbanisasi dan proyek pembangunan yang dilancarkan Presiden Soeharto menciptakan peluang besar bagi penduduk desa untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dan lebih modern.

Institusi-institusi profesional dan perusahaanperusahaan yang memerlukan tenaga kerja mendorong para pelajar untuk semakin berpikir ke arah pendidikan yang lebih vokasional. Generasi muda NU yang lahir pada akhir 1960-an dan awal 1970- an adalah generasi baby-boomer yang mendapat kesempatan belajar jauh lebih baik dari orangorang tua mereka.

Sebagian besar anak-anak NU yang lahir pada era ini mengenyam pendidikan umum atau pendidikan agama dengan kombinasi pelajaran umum.Pada masa ini, tidak jarang para orang tua NU menyekolahkan anak mereka secara ganda, pagi di sekolah umum (SD) dan sore di sekolah agama (ibtidaiyah).


Jasa Gus Dur

Ledakan bayi-bayi NU mulai dapat dirasakan pada tahun 1990- an dan semakin keras gaungnya setelah memasuki tahun 2000-an. Seperti sudah disebutkan di atas, orang-orang NU kini banyak mengisi jabatan-jabatan dan pos-pos penting, baik di pemerintahan maupun di lembaga-lembaga profesional. Generasi muda NU juga menguasai gerakan masyarakat sipil yang sebelumnya didominasi anak-anak muda kota dan kelompok sekuler.

Yang paling menggembirakan adalah bahwa NU juga leading dalam pengembangan pemikiran keagamaan, khususnyayangmenyangkut wacana pembaruan Islam. Umum diketahui bahwa gerakan pembaruan keagamaan adalah milik kaum modernis. Gerakan pembaruan Islam pertama dimulai oleh kaum modernis di Sumatera dengan didirikannya sekolah-sekolah modern seperti Adabiyah, Jembatan Besi, dan Thawalib.

Di Jawa, gerakan pembaruan Islam juga diusung oleh kaum modernis,khususnya Muhammadiyah. Sebelum tahun 1980-an, NU selalu dianggap sebagai organisasi Islam tradisional yang antipembaruan, antipemikiran, dan reaksioner terhadap dunia modern.NU juga sering mendapatkan stereotip sebagai organisasi terbelakang, kolot, dan antikemajuan.

Citra NU mengalami perubahan yang luar biasa sejak pertengahan tahun 1980-an, khususnya ketika Abdurrahman Wahid atau Gus Dur memimpin jam’iyah ini. Gus Dur melakukan suatu gebrakan yang tak pernah dilakukan para pendahulunya.Dia membawa NU dari organisasi yang “kolot” dan “terbelakang” menjadi sebuah lembaga yang sangat dinamis. Pada era Gus Dur-lah NU mengalami artikulasi intelektual yang sangat tinggi dan mampu melampaui pencapaian organisasi-organisasi Islam modernis lainnya.

Gus Dur sendiri adalah ikon bagi banyak isu penting yang diusung gerakan masyarakat sipil di Indonesia. Dia menjadi ikon demokrasi, HAM,kebebasan, dan pluralisme. Sosok Gus Dur telah mengubah citra NU menjadi sebuah gerakan modern yang pluralis, toleran, dan prokemajuan. Jasa terbesar Gus Dur adalah membuka ruang kebebasan berpikir di dalam NU dan mendorong anak-anak muda NU untuk berani berpikir dan berekspresi.

Gus Dur rela menjadi pelindung mereka dari kritik dan serangan kiai-kiai yang tak sejalan dengan gagasan itu. Gus Dur tak hanya mendorong generasi muda NU untuk mengkaji “kitab kuning” di mana khazanah Islam terpendam, tapi juga melecut mereka untuk menguasai “kitab putih” yang di dalamnya ilmu-ilmu sosial dan pengetahuan umum lainnya tersimpan.

Penerus Gus Dur

Setelah Gus Dur wafat pada 30 Desember silam,warga nahdliyin kembali berbicara tentang nasib NU pasca-Gus Dur. Tiba-tiba mereka rindu akan sosok Gus Dur yang telah begitu banyak memberikan jasa kepada jam’iyah ini. Menjelang Muktamar NU di Makassar pada Maret depan,wacana memunculkan sosok pemimpin seperti Gus Dur kembali menguat. Sebagian orang percaya bahwa sosok Gus Dur akan sulit dicari gantinya.

Sebagian lainnya berpendapat bahwa tidak perlu persis seperti Gus Dur,yang penting adalah orang yang mampu memainkan peran seperti yang dimainkan Gus Dur ketika ia memegang tampuk kepemimpinan NU. Itu berarti orang tersebut haruslah visioner, punya karakter, punya jaringan luas, bisa bergaul dengan siapa saja, mendukung demokrasi, kebebasan, dan HAM, serta melindungi kaum minoritas.

Saya yakin bahwa NU memiliki orang seperti itu.Mengatakan bahwa tidak ada orang yang sanggup menjalani peran Gus Dur sama artinya mengatakan bahwa Gus Dur telah gagal melakukan regenerasi. Tentu saja, orang itu tidak harus sama persis seperti Gus Dur. Jika dia memenuhi kualifikasi Gus Dur dalam hal pengetahuan (agama dan umum), punya karakter,

visioner, bisa berbicara bahasa Inggris,punya jaringan luas di tingkat nasional dan internasional serta mendukung isu-isu kebebasan, demokrasi, dan HAM, maka dia layak meneruskan perjuangan Gus Dur. Saya kira, di Muktamar Makassar nanti,warga NU harus berani memutuskan siapa yang bakal menjadi pemimpin mereka ke depan. Jangan sampai mencari pengganti Gus Dur seperti mencari tukang es pada pukul 1 malam.(*)

NU dan Garasinya

Oleh: Dr. KH. A. Mustofa Bisri

Keluarga Pak Nuas Waja merupakan keluarga desa yang cukup kaya. Di samping rumah yang besar, keluarga ini memiliki sawah, kebun, peternakan, perahu penangkap ikan, toko serba ada, dan masih ada kekayaan dan usaha yang lain.
Keluarga Pak Nuas Waja yang cukup banyak, tidak kesulitan menangani semua harta dan usaha itu, meski pengelolaannya masih secara tradisional. Masing-masing anggota keluarga, sesuai keahliannya diserahi dan bertanggungjawab atas bidang yang dikuasainya. Ini menggarap sawah; ini mengurus kebun; itu menangani toko; itu mengurus peternakan; demikian seterusnya.

Masih ada satu usaha keluarga lagi yang dilakukan bekerja sama dengan pihak-pihak lain. Yaitu, usaha transportasi. Tapi, karena waktu pembagian keuntungan, dirasa kurang adil, akhirnya keluar dan mendirikan usaha transportasi sendiri. Berhubung usaha ini baru bagi mereka, maka diajaknya beberapa personil dari luar yang dianggap mampu dan mengerti seluk-beluk transportasi. Ternyata, usaha baru ini meraih sukses yang luar biasa. Dari empat besar perusahaan transportasi, perusahaan keluarga pak Nuas Waja yang baru ini meraih peringkat ketiga. Dampak dari sukses besar ini, antara lain: personil-personil dari luar yang ikut membantu–atau yang berjanji akan membantu--menangani usaha ini pun menyatakan bergabung total sebagai anggota keluarga. Pak Nuas pun tidak keberatan dan justru senang.

Dampak lain yang jauh lebih penting dan serius, ialah kemaruknya para anggota keluarga terhadap usaha transportasi yang sukses besar ini. Setiap hari sebagian besar mereka berjubelan di garasi; meskipun sebenarnya banyak yang sekedar bermain-main klakson atau memutar-mutar stir mobil, karena memang tak tahu apa yang harus mereka lakukan di garasi itu. Lama-lama, mereka yang bertanggung jawab menggarap sawah, kebun, peternakan, toko, dlsb pun tertarik dan tersedot ikut menjubeli garasi mereka. Sawah pun menjadi bero, kebun tak terawat, toko tak ada yang menjaga, ternak-ternak pada mati, perahu nganggur Bahkan, rumah sendiri sering kosong, banyak perabotan diambil dan dibawa orang tak ada yang tahu. Halamannya kotor tak terurus.

Ketika penguasa negeri ganti dan mendirikan juga usaha transportasi sendiri, keluarga Nuas Waja pun agak pusing. Soalnya cara berusaha penguasa baru ini tidak lazim. Mereka menggunakan cara-cara makhluk rimba untuk memajukan usaha mereka. Tak segan-segan mereka menggunakan tipuan dan kekerasan.Orang dipaksa untuk menggunakan transportasi mereka; yang tidak mau, tahu rasa!

Namun, meski bersaing dengan usaha penguasa yang zalim begitu, usaha keluarga Nuas Waja masih mampu bertahan, walau babak-belur. Bahkan perlakuan penguasa itu justru semakin mengentalkan ‘fanatisme’ keluarga terhadap usaha transportasi ini.

Akan tetapi, penguasa lebih pintar lagi. Dengan kelicikannya, orang pun digiring untuk menyepakati aturan main baru yang agaknya sudah lama mereka rencanakan di bidang transportasi ini. Aturan itu melarang orang berusaha transportasi sendiri-sendiri di rumah. Mereka yang berusaha di bidang transportasi harus nge-pol dan bergabung dalam salah satu dari tiga wadah usaha yang sudah disiapkan. Akhirnya, keluarga Nuas pun bergabung dengan beberapa penguasaha lain, sesuai arahan penguasa. Dan nasib seperti pada masa lampau pun terulang kembali. Keluarga Nuas yang sahamnya paling besar, justru waktu pembagian keuntungan selalu kena tipu dan rugi.

Maka, waktu ada gagasan dari sementara anggota keluarga untuk kembali saja ke jati diri awal mereka, banyak yang mendukung gagasan itu, meskipun dengan alasan yang berbeda-beda. Demikianlah, meskipun seperti malas-malas dan terus menghadapi godaan untuk hanya mengurusi usaha transportasi, anggota keluarga yang biasa menggarap sawah, mulai kembali ke sawah; yang biasa mengurus kebun, kembali ke kebun; yang mengelola toko, kembali ke toko; demikian seterusnya. Sementara itu, mereka yang sudah merasa mapan menjalankan usaha transportasi, sesekali masih mencoba mencari kawan pendukung.



Dunia selalu berubah. Beberapa waktu, setelah pemerintahan ganti lagi dan usaha transportasi kembali bebas, keluarga Nuas Waja pun kembali terseret arus pertransportasian yang kembali marak. Banyak keluarga yang dulu punya usaha sendiri, beramai-ramai menghidupkan kembali usaha transportasi mereka. Garasi pun dibangun dimana-mana. Dan keluarga Nuas Waja pun menghabiskan enersi mereka untuk urusan garasi dan transportasi; termasuk mereka yang busi dan dongkrak pun tak mengenalnya.

***
Mungkin saya terlalu sederhana, tapi tamsil di atas itulah yang selalu saya gunakan untuk menerangkan NU dan Khithahnya kepada orang-orang sederhana di bawah.

Saya ingin mengatakan bahwa memang ada faktor politik di dalam proses kelahiran Khithah NU, tapi bukan berarti politiklah yang harus disalahkan dan oleh karenanya lalu dipahami NU tak lagi menghalalkan–setelah selama ini menghalalkan--politik. Khitthah NU dalam hal ini–karena Khitthah tak sekedar bicara hal ini--sekedar mendudukkan politik dalam proporsi sesuai dengan porsinya. Politik, sama dengan dakwah, pendidikan, ekonomi, dsb., mesti dilihat sebagai khidmah kemasyarakatan yang harus dilakukan secara bertanggungjawab bagi kepentingan bangsa dan negara. (Baca Khitthah NU butir 8)

Agaknya, warga NU memang belum siap untuk menerima NU sebagai organisasi yang baik seperti dituntut Khitthah NU. Setelah perjalanannya sebagai jamaah yang cukup jauh, tiba-tiba warga NU pangling dengan jatidirinya sendiri. “Kesuksesan” mereka dalam kiprah politik, membuat mereka seperti kemaruk, sehingga mempersiapkan diri bagi amal politik sebagai khidmah tak kunjung terpikirkan. Sementara, kehidupan perpolitikan di negeri ini pun tidak mengajarkan perilaku politik yang baik, yang mengarah kepada tercapainya kemaslahatan bersama. Perpolitikan yang hanya mengedepankan kepentingan sesaat bagi kelompok sendiri-sendiri. Di pihak lain, mereka yang terus-menerus menyaksikan praktek-praktek politik yang mengabaikan akhlaqul karimah dan belum pernah merasakan manfaat dari perpolitikan itu, malah justru sering dirugikannya, serta merta menyambut Khitthah NU dengan kegirangan orang mendapat dukungan.
Akibatnya, Khitthah NU yang semestinya menjadi landasan bagi perbaikan menyeluruh untuk kepentingan bersama, hanya dijadikan sekedar alat bagi membenarkan kiprah masing-masing alias hanya dijadikan senjata untuk bertikai antar sesama.

Sebenarnya, dengan tamsil di atas itu, saya ingin mengatakan juga bahwa NU dan Khitthahnya sebenarnya sangat gamblang, mudah dipahami, dan tak ada masalah.

Khitthah NU hanya mengingatkan bahwa NU itu mempunyai tujuan besar dan cita-cita luhur yang untuk mencapainya, mengupayakan dengan berbagai ikhtiar. Bidang garapan dan khidmah NU karenanya bermacam-macam. Masing-masing dilakukan oleh mereka yang memang seharusnya melakukannya (ahlinya).

Namun, sebagaimana Islam dan Pancasila, persoalannya selalu lebih kepada manusianya. Itulah sebabnya, pada waktu menjelang Munas Lampung tahun 1992, ketika Kyai A. Muchith Muzadi diminta PBNU menulis syarah Khitthah, saya sempat mempertanyakan, apanya yang perlu disyarahi? Bukankah Khitthah NU sudah sedemikian jelas bagai matahari siang? Apabila orang tidak bisa melihat matahari, bukan mataharinya yang kurang jelas. Sekarang disyarahi dan besok mungkin dikhasyiahi pun, jika kepentingan NU dan umat masih dinomorsekiankan, insya Allah Khitthah tetap tak kunjung “jelas” bagi mereka yang bersangkutan.

Sejak pertama dimasyarakatkannya Khitthah NU, telah ratusan kali saya bertemu warga NU, yang tokoh maupun bukan; belasan kalau tidak puluhan artikel saya tulis; dan kesimpulan saya tetap seperti itu. Seperti Indonesia ini, manusianyalah yang perlu ‘direformasi’. Karena itu saya selalu ngotot, bahwa penataan diri mestilah merupakan prioritas. NU harus segera diupayakan menjadi jam’iyyah, tidak terus menerus hanya sebagai jamaah.

Khitthah NU ini merupakan landasan dan patokan-patokan dasar yang perwujudannya dengan izin Allah terutama tergantung kepada semangat pemimpin dan warga NU. Jam’iyyah Nahdlatul Ulama hanya akan memperoleh dan mencapai cita-citanya jika pemimpin dan warganya benar-benar meresapi dan mengamalkan Khittah NU ini. (Khotimah Khitthah Nahdlatul Ulama). Wallahu a‘lam.

*) Tulisan lama yang diturunkan kembali ini, bila Anda warga NU, bisa bertanya kepada diri sendiri: mengapa tulisan ini terasa masih relevan?



Sumber: www.gusmus.net