deklarator PKB

deklarator PKB

Kamis, 01 April 2010

Mencari Pengganti Gus Dur

Pada 1950-an, KH. Wahid Hasjim, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang juga ayah almarhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pernah mengeluh. Dia mengatakan bahwa “mencari seorang akademisi di dalam NU ibarat mencari tukang es pada pukul 1 malam”.

Begitu sulit mencari “orang pandai” di dalam NU sehingga memaksa para pemimpin organisasi ini merekrut orangorang luar untuk dijadikan anggota NU. Ketika Partai NU keluar sebagai pemenang ketiga pada Pemilu 1955, mereka kesulitan mencari orang yang bisa dikirim ke parlemen.

Untuk mengatasi krisis ini, mereka lalu merekrut beberapa tokoh dari luar seperti Prof Sunarjo (ekonom),Asrul Sani (sutradara), Usmar Ismail (seniman), dan dua orang keturunan Tionghoa Tan Kiem Liong dan Tan Eng Hong (pengusaha) untuk bergabung dengan NU. Saat itu, mencari orang pandai di NU benar-benar seperti mencari tukang es pada jam 1 malam. Amat bisa dimaklumi kalau pada tahun-tahun itu NU mengalami defisit sumber daya manusia.

Sebetulnya bukan tidak ada “orang pandai” di dalam NU. NU sendiri adalah organisasi ulama dan ulama dalam bahasa Arab berarti “orang berilmu”atau “ilmuwan”.Namun, kata “ulama” dalam NU telanjur direduksi hanya menjadi “ilmuwan agama” atau orang yang ahli tentang agama saja. Karena keahlian mereka sangat terbatas, NU mengalami kesulitan ketika jam’iyah ini bertransformasi dari sebuah organisasi keagamaan menjadi partai politik. Partai politik membutuhkan wakil yang terdiri atas para ahli.

Kalau tidak, mereka akan kesulitan menyampaikan aspirasi rakyat di parlemen. Belum lagi harus berhadapan dengan lawan-lawan politik dari berbagai latar belakang profesi dan keahlian. Pada 1950-an, tokohtokoh Islam yang terdidik dan ahli dalam berbagai bidang ilmu (hukum,kedokteran, sains, dll) umumnya dipegang oleh orang-orang Masyumi, selain beberapa yang bergabung ke dalam PNI dan PSI.Sebagian besar tokoh Masyumi adalah orangorang Islam yang pernah menjalani pendidikan modern, baik di Belanda maupun di sekolah-sekolah Belanda yang ada di Indonesia.

Adapun orang NU hanyalah tamatan pesantren yang tidak menguasai ilmu-ilmu umum. Kondisi mengenaskan itu mulai berubah pada tahun 1980-an ketika generasi muda NU berbondong- bondong memasuki perguruan tinggi di kota-kota besar. Urbanisasi dan proyek pembangunan yang dilancarkan Presiden Soeharto menciptakan peluang besar bagi penduduk desa untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dan lebih modern.

Institusi-institusi profesional dan perusahaanperusahaan yang memerlukan tenaga kerja mendorong para pelajar untuk semakin berpikir ke arah pendidikan yang lebih vokasional. Generasi muda NU yang lahir pada akhir 1960-an dan awal 1970- an adalah generasi baby-boomer yang mendapat kesempatan belajar jauh lebih baik dari orangorang tua mereka.

Sebagian besar anak-anak NU yang lahir pada era ini mengenyam pendidikan umum atau pendidikan agama dengan kombinasi pelajaran umum.Pada masa ini, tidak jarang para orang tua NU menyekolahkan anak mereka secara ganda, pagi di sekolah umum (SD) dan sore di sekolah agama (ibtidaiyah).


Jasa Gus Dur

Ledakan bayi-bayi NU mulai dapat dirasakan pada tahun 1990- an dan semakin keras gaungnya setelah memasuki tahun 2000-an. Seperti sudah disebutkan di atas, orang-orang NU kini banyak mengisi jabatan-jabatan dan pos-pos penting, baik di pemerintahan maupun di lembaga-lembaga profesional. Generasi muda NU juga menguasai gerakan masyarakat sipil yang sebelumnya didominasi anak-anak muda kota dan kelompok sekuler.

Yang paling menggembirakan adalah bahwa NU juga leading dalam pengembangan pemikiran keagamaan, khususnyayangmenyangkut wacana pembaruan Islam. Umum diketahui bahwa gerakan pembaruan keagamaan adalah milik kaum modernis. Gerakan pembaruan Islam pertama dimulai oleh kaum modernis di Sumatera dengan didirikannya sekolah-sekolah modern seperti Adabiyah, Jembatan Besi, dan Thawalib.

Di Jawa, gerakan pembaruan Islam juga diusung oleh kaum modernis,khususnya Muhammadiyah. Sebelum tahun 1980-an, NU selalu dianggap sebagai organisasi Islam tradisional yang antipembaruan, antipemikiran, dan reaksioner terhadap dunia modern.NU juga sering mendapatkan stereotip sebagai organisasi terbelakang, kolot, dan antikemajuan.

Citra NU mengalami perubahan yang luar biasa sejak pertengahan tahun 1980-an, khususnya ketika Abdurrahman Wahid atau Gus Dur memimpin jam’iyah ini. Gus Dur melakukan suatu gebrakan yang tak pernah dilakukan para pendahulunya.Dia membawa NU dari organisasi yang “kolot” dan “terbelakang” menjadi sebuah lembaga yang sangat dinamis. Pada era Gus Dur-lah NU mengalami artikulasi intelektual yang sangat tinggi dan mampu melampaui pencapaian organisasi-organisasi Islam modernis lainnya.

Gus Dur sendiri adalah ikon bagi banyak isu penting yang diusung gerakan masyarakat sipil di Indonesia. Dia menjadi ikon demokrasi, HAM,kebebasan, dan pluralisme. Sosok Gus Dur telah mengubah citra NU menjadi sebuah gerakan modern yang pluralis, toleran, dan prokemajuan. Jasa terbesar Gus Dur adalah membuka ruang kebebasan berpikir di dalam NU dan mendorong anak-anak muda NU untuk berani berpikir dan berekspresi.

Gus Dur rela menjadi pelindung mereka dari kritik dan serangan kiai-kiai yang tak sejalan dengan gagasan itu. Gus Dur tak hanya mendorong generasi muda NU untuk mengkaji “kitab kuning” di mana khazanah Islam terpendam, tapi juga melecut mereka untuk menguasai “kitab putih” yang di dalamnya ilmu-ilmu sosial dan pengetahuan umum lainnya tersimpan.

Penerus Gus Dur

Setelah Gus Dur wafat pada 30 Desember silam,warga nahdliyin kembali berbicara tentang nasib NU pasca-Gus Dur. Tiba-tiba mereka rindu akan sosok Gus Dur yang telah begitu banyak memberikan jasa kepada jam’iyah ini. Menjelang Muktamar NU di Makassar pada Maret depan,wacana memunculkan sosok pemimpin seperti Gus Dur kembali menguat. Sebagian orang percaya bahwa sosok Gus Dur akan sulit dicari gantinya.

Sebagian lainnya berpendapat bahwa tidak perlu persis seperti Gus Dur,yang penting adalah orang yang mampu memainkan peran seperti yang dimainkan Gus Dur ketika ia memegang tampuk kepemimpinan NU. Itu berarti orang tersebut haruslah visioner, punya karakter, punya jaringan luas, bisa bergaul dengan siapa saja, mendukung demokrasi, kebebasan, dan HAM, serta melindungi kaum minoritas.

Saya yakin bahwa NU memiliki orang seperti itu.Mengatakan bahwa tidak ada orang yang sanggup menjalani peran Gus Dur sama artinya mengatakan bahwa Gus Dur telah gagal melakukan regenerasi. Tentu saja, orang itu tidak harus sama persis seperti Gus Dur. Jika dia memenuhi kualifikasi Gus Dur dalam hal pengetahuan (agama dan umum), punya karakter,

visioner, bisa berbicara bahasa Inggris,punya jaringan luas di tingkat nasional dan internasional serta mendukung isu-isu kebebasan, demokrasi, dan HAM, maka dia layak meneruskan perjuangan Gus Dur. Saya kira, di Muktamar Makassar nanti,warga NU harus berani memutuskan siapa yang bakal menjadi pemimpin mereka ke depan. Jangan sampai mencari pengganti Gus Dur seperti mencari tukang es pada pukul 1 malam.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar