deklarator PKB

deklarator PKB

Minggu, 16 Mei 2010

PKB Lebih popupler ketimbang Parpol di Dunia Maya



Jakarta – Di dunia maya, Partai Kebangkitan Bangsa ternyata lebih populer daripada Partai Politik. Hal ini terungkap ketika PKB Online melakukan penelusuran online dengan menggunakan mesin pencari Google Indonesia pada hari Rabu, tanggal 12 Mei 2010, pukul 11.21 WIB. Model pencarian menggunakan google.co.id dengan keyword “Partai Kebangkitan Bangsa” dan “Partai Politik” tanpa tanda petik. Hasilnya, 3.390.000 pencarian untuk Partai Kebangkitan Bangsa, dan 3.260.000 untuk Partai Politik. Tapi, hasil ini bisa berubah pada hari berikutnya.“Hasil penelusuran tersebut membuktikan bahwa Partai Kebangkitan Bangsa lebih populer dan unggul jika dibandingkan dengan Partai Politik. Yang lebih penting, situs Partai Kebangkitan Bangsa berada di urutan 1 dari 3.390.000 situs yang direkomendasikan Google,” kata Alam.



Manajer Kantor DPP PKB itu menambahkan, saat ini Google PageRank situs Partai Kebangkitan Bangsa sudah PR-3. Dan, pengunjung yang online setiap saat lebih dari 100 orang. (Bar).

Cak Imin Bawa Depnakertrans Lebih Baik

Jakarta - Kinerja Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dibawah pimpinan Menteri Muhaimin Iskandar terkelola lebih baik dan kian menunjukan perkembangan yang positif.

Hal ini tampak hasil kerjasama dengan sejumlah negara yang komitmen memberi ruang peningkatan jumlah tenaga kerja di sektor formal.

Baru-baru ini Muhaimin melakukan pertemuan Bilateral dengan pejabat pemerintah Singapura. Dalam pertemuan itu disepakati sejumlah kerjasama dibidang ketenagakerjaan.

"Kita berupaya meningkatkan jumlah TKI formal di Singapura, saya sudah sampaikan bahwa pelatihan TKI formal terus kita tingkatkan kualitasnya sehingga bisa memenuhi labor standart di Singapura. Sekarang kita minta mereka membuka pasar kerja formal seluas-luasnya pada TKI kita," Ujar Menakertrans menjelaskan di sela-sela pertemuan di Singapura.

Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di Singapura saat ini mencapai jumlah 106.000 orang dan 83.000 diantara adalah penata laksana rumah tangga (PLRT). Mengingat perkembangan perekonomian Singapura yang terus tumbuh, Menakertrans berharap ke depan sektor formal bisa lebih besar lagi bahkan bisa melebihi sektor informal.

"Kalau sektor formal kita kembangkan, kelayakan kerja hingga upah dan perlindungannya dapat kita pastikan lebih baik lagi," tambah Menakertrans. Pihak Singapura sendiri, sebagaimana diakui oleh Menakertrans, menyatakan berminat untuk membuka pasar kerja formal lebih besar untuk TKI.

(sumber : Pusat Humas Kemenakartrans)

Selasa, 04 Mei 2010

Baiat Pengurus PKB



BAIAT PENGURUS
PARTAI KEBANGKITAN BANGSA

Dengan memohon Rahmat, Taufiq dan Maghfiroh Allah Subhanahu Wata’ala, dengan ini kami berikrar;

  • Sebagai Dewan Pengurus Wilayah/Cabang Partai Kebangkitan Bangsa Provinsi/Kab/Kota …………………….,
    kami senantiasa siap untuk berjuang demi tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Undang-undang Dasar 1945.
  • Sebagai Dewan Pengurus Wilayah/Cabang Partai Kebangkitan Bangsa Provinsi/Kab/Kota …………………….,
    kami selalu setia kepada garis perjuangan partai yaitu; pengabdian kepada Allah SWT, menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran, menegakkan keadilan, menjaga persatuan, menumbuhkan persaudaraan dan kebersamaan sesuai dengan nilai-nilai Ahlussunah Waljamaah.
  • Sebagai Dewan Pengurus Wilayah/Cabang Partai Kebangkitan Bangsa Provinsi/Kab/Kota …………………….,
    kami senantiasa mencurahkan tenaga dan pikiran untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur seara lahir dan batin, serta terciptanya tatanan nasional yang demokratis, terbuka, bersih dan berakhlakul karimah.
  • Sebagai Dewan Pengurus Wilayah/Cabang Partai Kebangkitan Bangsa Provinsi/Kab/Kota ……………………., kami senantiasa mengikuti garis perjuangan Nahdlatul Ulama dan As-Salafus Shalih dalam melaksanakan ‘amar ma’ruf nahi munkar.



………………………….., ….., ……, 20….

Gus Dur dan Kegaiban


Oleh: Moh Mahfud MD*

Di tengah tangis dan impitan ribuan orang pada 31 Desember 2009 lalu, saya mengikuti dengan khusyuk upacara penguburan Gus Dur di Jombang.

Dari alunan takbir yang syahdu, saya mendengar banyak pengunjung yang menambah kalimat tahlil sambil menangis, Laa ilaaha illallah,Muhammadurrasulullah, Gus Dur waliyullaah,”Tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah, dan Gus Dur adalah wali Allah”. Meski banyak yang tidak percaya, banyak juga yang percaya bahwa Gus Dur adalah seorang wali, yakni, manusia yang oleh Allah diberi kemampuan khusus untuk mengetahui dan mengantisipasi hal-hal yang belum terjadi.

Ada yang menyebut Gus Dur mempunyai indera keenam. Gus Dur sendiri tertawa dan menolak kalau dirinya disebut wali. “Tak usah percaya kalau saya wali, saya hanya wali murid,” tuturnya sambil tertawa.

Sebenarnya, mereka yang memercayai itu tidak dapat disalahkan. Di dalam Islam memang ada manusia khusus yang disebut wali dengan kemampuan yang luar biasa. Dalam perjalanan hidup dan perilaku Gus Dur juga ada hal-hal aneh yang kadang kala tak masuk akal, tetapi kerap kali terjadi.

Sebutlah sebagai contoh tentang pernyataan-pernyataan bahwa dia akan menjadi presiden. Ini bukan hanya disaksikan orang-orang NU, juga oleh orang nonmuslim, seperti Marsillam Simanjuntak dan Irwan David, yang pernah bercerita langsung kepada saya. Ketika sama-sama menjadi menteri di era pemerintahan Gus Dur, Marsillam Simanjuntak pernah bercerita kepada saya bahwa jauh sebelum menjadi presiden, Gus Dur sudah menceritakan adanya pesan gaib bahwa dia akan menjadi presiden.

Marsillam bercerita bahwa pada suatu hari rapat Forum Demokrasi (Fordem) meminta Gus Dur mundur atau berhenti sebagai ketua. Alasannya, Gus Dur terlalu sibuk sehingga tak sempat mengurus Fordem dengan benar. Sumber lain menyebutkan bahwa saat itu Gus Dur diminta mundur karena pernah mempromosikan Tutut sebagai calon pemimpin masa depan. Atas permintaan mundur itu, Marsillam menuturkan, Gus Dur menanggapi dan menerima dengan enteng sambil mengatakan bahwa yang lebih pantas memimpin Fordem memang orang tekun dan teliti seperti Marsillam.

“Saya sendiri sudah sangat sibuk. Kata Mbah Hasyim, saya akan segera jadi presiden,” demikian Gus Dur menjawab tanpa beban. Mbah Hasyim adalah Kyai Hasyim Asy’ari, kakek Gus Dur yang dikenal sebagai pendiri NU. Reaksi orang-orang Fordem atas tanggapan Gus Dur itu beragam. Ada yang tertawa karena menganggap Gus Dur sedang melucu seperti biasanya, ada yang tertawa mengejek, dan ada yang terharu karena menganggap Gus Dur sudah tak waras.Ternyata, Gus Dur benar-benar menjadi presiden.

“Sebagai orang Kristen, saya tak percaya hal-hal begitu, tapi nyatanya Mas Dur benar-benar jadi presiden,” ujar Marsillam kepada saya. Irwan David, mantan anggota TNI yang kini menjadi pengusaha ekspor-impor mebel dan berdomisili di Bandung, pernah menceritakan hal yang sama kepada saya. Kawan dekat Gus Dur yang beragama Katolik ini bercerita bahwa pada pertengahan tahun 1998 Gus Dur mengatakan akan menjadi presiden. Waktu itu, Irwan tak percaya dan menganggapnya ngelantur, tetapi untuk menjaga perasaan temannya itu Irwan menjawab, “Ya, mudah-mudahan, Gus.

”Ternyata, pada 1999, Gus Dur benar-benar menjadi presiden dan Irwan David diundang untuk ngobrol-ngobroldi istana. “Bagi kami, orang Katolik, Gus Dur itu seperti santo yang oleh orang Islam disebut wali,“ tandasnya.

Saat menjadi Presiden pun kalau mau bersikap atau mengambil keputusan Gus Dur sering merujuk isyarat-isyarat gaib.Tentu saja hal itu tak diungkapkan dalam rapat kabinet melainkan tercermin dari pernyataan dan langkah-langkah nyatanya. Kalau ngobrol dengan saya, Gus Dur sering bercerita bahwa “Tadi malam saya ditemui Mbah Mahdum,”atau “Mbah Hasyim berpesan begini…” Mbah Mahdum adalah nama asli Sunan Bonang.

Saya berkesimpulan bahwa meskipun menolak dirinya disebut wali, Gus Dur percaya pada kegaiban-kegaiban dan tak jarang perilakunya dipengaruhi apa yang kita sebut sebagai “pesan gaib.”Dalam konteks inilah saya paham mengapa Gus Dur sering berkunjung ke kuburan-kuburan,terutama kuburan- kuburan tokoh-tokoh besar masa lalu, seperti Sunan Bonang, Pangeran Jayakarta,Sunan Ampel, dan (tentu saja) kuburan ayahanda dan kakek-kakeknya yang merupakan para pendiri NU. Meski begitu, tidak mudah untuk memahami, ukuran dan jenis kegaiban macam apa yang dianut atau dihayati Gus Dur.

Sebab, adakalanya Gus Dur menolak atau menertawai pesan-pesan gaib yang disampaikan orang kepadanya. Ini saya alami sendiri. Pada awal 2001, sebagai Menteri Pertahanan, saya diundang untuk berceramah di pondok pesantren yang diasuh keluarga KH Said Aqil Siradj di Cirebon. Sebelum ceramah dimulai para kiai mengajak saya untuk berbicara khusus di sebuah ruangan. Para kiai bertanya, apa betul Gus Dur akan berkunjung ke Mesir. Saya jawab bahwa Gus Dur memang akan berkunjung ke tujuh negara di Afrika dan Timur Tengah, termasuk Mesir, dan saya akan ikut dalam rombongan Presiden.

Para kiai itu berpesan agar Gus Dur mengurungkan dulu niatnya berkunjung ke Mesir. Sebab, kata para kiai itu, banyak presiden yang jatuh dari jabatannya setelah berkunjung ke Mesir. Para kiai itu lantas menyebut nama Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, dan Presiden Habibie yang jatuh dari jabatannya tak lama setelah pulang dari Mesir. Ketika pesan para Kyai itu saya sampaikan kepada Gus Dur, ternyata Gus Dur tak menganggapnya serius. Gus Dur bilang bahwa dia tak bisa membatalkan kunjungan ke Mesir karena sudah dijadwalkan sejak lama secara kenegaraan oleh kedua negara.

Lagipula, apa hubungan antara berkunjung ke Mesir dan kejatuhan jabatan Presiden? “Tak masuk akal, masak berkunjung ke Mesir hanya tiga hari bisa jatuh dari jabatan presiden, padahal Husni Mubarak tinggal di Mesir dan menjadi presiden di sana lebih dari 20 tahun, tak jatuh-jatuh juga," papar Gus Dur sambil tertawa lebar. Tak lama setelah pulang dari Mesir, Gus Dur memang lengser keprabon. Percaya? (*)

(seputar-indonesia.com)

*Ketua Mahkamah Konstitusi RI

Kamis, 01 April 2010

Mati Syahid dan Pemahaman Imporan

Kesukaan meniru atau ‘mengimpor’ sesuatu dari luar negeri mungkin sudah menjadi bawaan setiap bangsa dari negeri berkembang; bukan khas bangsa kita saja. Pokoknya asal datang dari luar negeri. Seolah-olah semua yang dari luar negeri pasti hebat. Tapi barangkali karena terlalu lama dijajah, bangsa kita rasanya memang keterlaluan bila meniru dari bangsa luar.

Sering hanya asal meniru; taklid buta, tanpa mempertimbangkan lebih jauh, termasuk kepatutannya dengan diri sendiri. Ingat, saat orang kita meniru mode pakaian, misalnya. Tidak peduli tubuh kerempeng atau gendut, pendek atau jangkung; semuanya memakai rok span atau celana cutbrai, meniru bintang atau peragawati luar negeri.

Pada waktu pak Harto dan orde barunya ingin membangun ekonomi, sepertinya juga asal meniru negara maju; tanpa melihat jatidiri bangsa ini sendiri yang pancasilais (Padahal waktu itu ada yang namanya P4). Maka, meski tanpa ‘kapital’, selama lebih 30 tahun negeri kita seperti negeri kapitalis dan akibatnya, bangsa kita pun bahkan sampai sekarang sulit untuk tidak disebut bangsa yang materialistis.

Nah, ketika ada tren baru dari luar negeri yang berkaitan dengan keagamaan pun banyak diantara kita yang taklid buta. Kalau taklid soal mode, madzhabnya Amerika dan Eropa; soal tari dan nyanyi banyak yang berkiblat ke India; maka dalam tren keagamaan ini, agaknya banyak yang bertaklid kepada madzhab Timur Tengah, Iran, atau Afghanistan.

Seperti pentaklidan tren baru dari luar negeri yang selalu dimulai dari kota dan baru kemudian menjalar ke desa-desa, demikian pula tren yang berkaitan dengan keagamaan ini. Seperti takjubnya sementara orang kota terhadap tren mode dari luar negeri --atau takjubnya sementara orang desa terhadap tren mode dari kota-- dan langsung mengikutinya, orang-orang Islam kota atau mereka yang punya persinggungan dengan luar negeri, agaknya juga banyak yang demikian. Mereka melihat dan takjub melihat keberagamaan yang dari luar negeri yang sama sekali lain dengan yang selama ini dianut orang-orang tua mereka disini. Maka, seperti halnya orang-orang yang mengikuti mode baru dari luar negeri, mereka ini pun bangga dengan model keberagamaan baru mereka. Termasuk kecenderungan merendahkan orang yang tidak mengikuti ‘tren baru’ mereka itu.

Karena taklid buta, karena asal meniru tanpa mempertimbangkan lebih jauh, sering kali lucu dan sekaligus memprihatinkan. Ambil contoh misalnya soal jihad. Ada beberapa orang yang hanya melihat perjuangan bangsa Palestina dan Afghanistan, misalnya, yang berjihad --seperti kita dulu ketika melawan kolonialis Belanda-- dengan segala cara; termasuk mengorbankan nyawa sendiri. Lalu mereka ikutan melawan musuhnya Palestina dan Afghanistan di sini dengan cara yang sama. Mereka lupa bahwa jihad seperti yang dilakukan dan diajarkan Rasulullah SAW ada aturan dan etikanya.

Orang Palestina yang melakukan bom bunuh diri untuk melawan kolonialis Israel, bila terbunuh bisa disebut syahid. Dalam hadis riwayat imam Ahmad dari Sa’ied Ibn Zaid, disebutkan bahwa orang yang terbunuh membela haknya atau keluarganya atau agamanya, adalah syahid. Orang yang mati syahid , seperti disebutkan dalam beberapa hadis, berhak mendapatkan enam anugerah: 1. Diampuni dosanya sejak tetes darahnya yang pertama; 2. Bisa melihat tempatnya di sorga; 3. Dihiasi dengan perhiasan iman; 4. Dikawinkan dengan bidadari; 5. Dijauhkan dari siksa kubur; 6. Dan aman dari kengerian Yaumil Faza’il akbar .

Tapi orang yang melakukan bom bunuh diri di Indonsia yang tidak sedang berperang melawan siapa-siapa dan mayoritas penduduknya beragama Islam, jelas namanya bunuh diri biasa yang dilarang oleh Allah SWT, ditambah tindakan kriminalitas luar biasa: membuat kerusakan. Banyak sekali ayat Al-Quran yang menunjukkan dilarangnya berbuat kerusakan di muka bumi. Dalam perang melawan orang-orang kafir sekali pun, ada batasan-batasannya; misalnya tidak boleh membunuh perempuan dan anak-anak, merusak lingkungan, dsb.

Allah berfirman: “Walaa taqtuluu anfusakum..” (Q. 4. An-Nisaa: 29). “Dan janganlah kamu membunuh dirimu..” Menurut para mufassir, larangan membunuh diri ini termasuk juga membunuh orang lain; karena membunuh orang lain termasuk membunuh diri sendiri, sebab umat merupakan satu kesatuan. Larangan ini sangat jelas sekali. Orang yang membunuh dirinya sendiri dan sekaligus orang-orang lain yang tidak berdosa, jelas sangat jauh untuk dapat disebut syahid? Sungguh keterlaluan mereka yang mencekokkan doktrin yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW. Apalagi hanya karena taklid buta terhadap tren dari luar negeri . Dan sungguh naïf mereka yang –mengaku umat Muhammad-- dengan mudah terpikat hanya oleh iming-iming bidadari, hingga mengabaikan akal sehat dan tega menghancurkan nilai agung kemanusiaan yang ditegakkan Rasulullah SAW.
Wallahu a’lam.

Pemimpin yang Rendah Hati

Oleh: KH Dr. A. Mustofa Bisri

Suatu ketika seorang laki-laki menghadap Nabi Muhammad SAW dan gemetaran –oleh wibawa beliau-- saat berbicara. Nabi SAW pun berkata menenangkan: “Tenang saja! Aku bukan raja. Aku hanyalah anaknya perempuan Qureisy yang biasa makan ikan asin.” (Dalam hadisnya, menggunakan kata qadiid yang maknanya dendeng, makanan sederhana di Arab. Saya terjemahkan dengan ikan asin yang merupakan makanan sederhana di Indonesia).


Ketika Rasulullah SAW datang di Mekkah, setelah sekian lama hijrah, sahabat Abu Bakar Siddiq r.a. sowan bersama ayahandanya, Utsman yang lebih terkenal dengan julukan Abu Quhaafah. Melihat sahabat karib sekaligus mertuanya bersama ayahandanya itu, Rasulullah SAW pun bersabda “Wahai Abu Bakar, mengapa Sampeyan merepotkan orang tua? Mengapa tidak menunggu aku yang sowan beliau di kediamannya?”

***
Sahabat Abdurrahman Ibn Shakhr yang lebih dikenal dengan Abu Hurairah r.a. bercerita: “Suatu ketika aku masuk pasar bersama Rasulullah SAW. Rasulullah berhenti, membeli celana dalam dan berkata: ‘Pilihkan yang baik lho!’ (Terjemahan dari aslinya: Rasulullah bersabda kepada si tukang timbang, ‘Timbang dan murahin – bahasa Jawa: sing anget—‘. Boleh jadi waktu itu, beli celana pun ditimbang). Mendengar suara Rasulullah SAW, si pedagang celana pun melompat mencium tangan beliau. Rasulullah menarik tangan beliau sambil bersabda: ‘Itu tindakan orang-orang asing terhadap raja mereka. Aku bukan raja. Aku hanyalah laki-laki biasa seperti kamu.’ Kemudian beliau ambil celana yang sudah beliau beli. Aku berniat akan membawakannya, tapi beliau buru-buru bersabda: ‘Pemilik barang lebih berhak membawa barangnya.’”

***
Itu beberapa cuplikan yang saya terjemahkan secara bebas dari kitab Nihayaayat al-Arab-nya Syeikh Syihabuddin Ahmad Ibn Abdul Wahhab An-Nuweiry (677-733 H) jilid ke 18 hal 262-263. Saya nukilkan cuplikan-cuplikan kecil itu untuk berbagi kesan dengan Anda. Soalnya saya sendiri, saat membacanya, mendapat gambaran betapa biasa dan rendah hatinya pemimpin agung kita Nabi Muhammad SAW.

Dalam kitab itu juga disebutkan bahwa Rasulullah SAW sering naik atau membonceng kendaraan paling sederhana saat itu; yaitu keledai. Rasulullah SAW suka menyambangi dan duduk bercengkerama dengan orang-orang fakir-miskin. Menurut istri terkasih beliau, sayyidatina ‘Aisyah r.a dan cucu kesayangan beliau Hasan Ibn Ali r.a, Rasulullah SAW mengerjakan pekerjaan rumah; membersihkan dan menambal sendiri pakaiannya; memerah susu kambingnya; menjahit terompahnya yang putus; menyapu dan membuang sampah; memberi makan ternak; ikut membantu sang istri mengaduk adonan roti; dan makan bersama-sama pelayan.
Sikap dan gaya hidup sederhana sebagaimana hamba biasa itu agaknya memang merupakan pilihan Rasulullah SAW sejak awal. Karena itu dan tentu saja juga karena kekuatan pribadi beliau, bahkan kebesaran beliau sebagai pemimpin agama maupun pemimpin Negara pun tidak mampu mengubah sikap dan gaya hidup sederhana beliau. Bandingkan misalnya, dengan kawan kita yang baru menjadi kepala desa saja sudah merasa lain; atau ikhwan kita yang baru menjadi pimpinan majlis taklim saja sudah merasa beda dengan orang lain.

Memang tidak mudah untuk bersikap biasa; terutama bagi mereka yang terlalu ingin menjadi luar biasa atau mereka yang tidak tahan dengan ‘keluarbiasaan’. Apalagi sering kali masyarakat juga ikut ‘membantu’ mempersulit orang istimewa untuk bersikap biasa. Orang yang semula biasa dan sederhana; ketika nasib baik mengistimewakannya menjadi pemimpin, misalnya, atau tokoh berilmu atau berada atau berpangkat atau terkenal, biasanya masyarakat di sekelilingnya pun mengelu-elukannya sedemikian rupa, sehingga yang bersangkutan terlena dan menjadi tidak istimewa. Keistimewaan orang istimewa terutama terletak pada kekuatannya untuk tidak terlena dan terpengaruh oleh keistimewaannya itu. Keistimewaan khalifah Allah terutama terletak pada kekuatannya untuk tidak terlena dan terpengaruh oleh kekhalifahannya, mampu menjaga tetap menjadi hamba Allah.

Keistimewaan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin antara lain karena beliau tidak terlena dan terpengaruh oleh keistimewaannya sendiri. Kita pun kemudian menyebutnya sebagai pemimpin yang rendah hati.

Nabi Muhammad SAW adalah contoh paling baik dari seorang hamba Allah yang menjadi khalifahNya. Beliau sangat istimewa justru karena sikap kehambaannya sedikit pun tidak menjadi luntur oleh keistimewaannya sebagai khalifah Allah.

Selawat dan salam bagimu, ya Rasulallah, kami rindu!

Sumber: www.gusmus.net

Kyai dan Pesantren Indonesia

Oleh: KH.A. Mustofa Bisri

Seperti mengenai banyak hal yang lain, kalau kita berbicara tentang kiai dan pesantren, kita terpaksa harus membuat katagori pembeda: kiai sekarang atau kiai dulu; pesantren sekarang atau pesantren dulu.

Soalnya memang terdapat banyak perbedaan antara kiai sekarang dengan kiai di zaman dulu. Demikian pula dengan pesantren; apalagi sekarang ini banyak pesantren baru yang sama sekali berbeda bahkan sering ‘ideologi’nya bertolak belakang dengan pesantren di zaman dulu.

Kiai di zaman dulu –biasanya ‘pemilik’ pesantren—rata-rata adalah orang yang di samping memiliki ilmu agama lebih dari kebanyakan masyarakatnya, memiliki kecintaan yang mendalam kepada tanah air dan umatnya. Para kiai di zaman dulu, membangun pondok pesantren mereka sendiri untuk menampung santri-santrin mereka yang menimba ilmu darinya. Santri-santri mereka, tidak hanya diberi ilmu agama, tetapi dididik untuk mengamalkan ilmu yang mereka dapat. Menurut mereka, iIlmu tidak ada gunanya bila tidak diamalkan.
Kitab-kitab kuning yang diajarkan kiai-kiai kepada santri-santrinya adalah kitab-kitab yang umumnya merupakan penjabaran dari Kitab suci AlQuran dan Sunnah Rasulullah SAW menurut pemahaman Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Paham yang mengajarkan Islam rahmatan lil’aalamiin dan sikap hidup tawassuth wal I’tidaal, sikap tengah-tengah dan tidak ekstrem.

Para santri juga dididik untuk mencintai tanah air mereka. Hubbul wathan minal iimaan, “Cinta tanah air adalah bagian dari iman”, merupakan slogan di kalangan kiai dan pesantren tempo doeloe. Di zaman penjajahan, banyak kiai yang menjadikan pesantrennya sebagai markas perlawanan terhadap penjajah. Banyak kiai yang gugur dan menjadi penghuni penjara pemerintah kolonialis dalam rangka membela tanah air. Dengan berbagai dalil ‘kitab kuning’, para kiai mengobarkan semangat rakyat melawan penjajah . Fatwa jihad melawan penjajah oleh Kiai Hasyim Asyari Tebuireng Jombang, misalnya, telah mengorbarkan semangat arek-arek Jawa Timur untuk melawan Sekutu di Surabaya. Kiai Subki Parakan Temanggung dengan bambu runcingnya yang terkenal itu, menggembleng mental pejuang-pejuang kemerdekaan. Kiai Baidlowi Lasem mengutus beberapa santrinya untuk memata-matai Belanda yang konon mendarat di daerah Sayung.

Itu hanyalah sekedar contoh bagaimana para kiai pesantren dulu mengajarkan, mendidik, dan mencontohkan sikap patriotisme. Di zaman kebangkitan, para kiai pesantren medirikan organisasi yang mereka namakan Nahdlatul Wathan yang artinya Kebangkitan Tanah air.
Maka tidak heran bila beberapa kiai yang –ketahuan-- kemudian diangkat menjadi pahlawan nasional. Bahkan Mohammad Asad Syihab, seorang wartawan Arab yang di zaman revolusi tinggal di Indonesia, di antara buku-bukunya tentang tokoh-tokoh nasional Indonesia yang diterbitkan di Kuwait, menulis buku berjudul Al-‘Allaamah Mohammad Hasyim Asy’ari Wadli’u Labinati Istiqlaali Indonesia. Terjemah harfiahnya: Mahakiai Mohammad Hasyim Asy’ari Peletak Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia.

Para kiai ‘model dulu’ selalu menanamkan kepada santri-santrinya bahwa mereka adalah orang Indonesia yang beragama Islam; bukan orang Islam yang kebetulan berada di Indonesia. Orang Islam yang kebetulan di Indonesia boleh jadi tidak peduli apapun yang menimpa Indonesia, tapi orang Indonesia yang beragama Islam tidak bisa tidak memikirkan dan berjuang bagi kebaikan Indonesia. Kecuali mungkin orang yang terbalik akalnya.

Alhamdulillah, menurut pengamatan saya, minimal para kiai dan pesantren pelanjut generasi sebelumnya masih tetap mempertahankan pemahaman tentang Islam rahmatan lil’aalamiin dan sikap hidup tawassuth wal I’tidaal, sikap tengah-tengah dan tidak ekstrem, serta memiliki rasa keIndonesiaan yang tebal seperti kiai dan pesantren di zaman dulu.

Akhir-akhir ini orang dibingungkan dengan munculnya sikap-sikap kasar bahkan bengis dari kalangan yang juga menyebut diri kaum muslimin. Munculnya ustadz-ustadz yang dari raut muka hingga tindakan dan ucapannya membuat orang bergidik. Ada jama’ah yang tampak bangga dengan keangkerannya. Bahkan ada yang tidak masuk akal: perbuatan merusak yang tegas-tegas dilarang oleh kitab suci Al-Quran justru dianggap jihad atau minimal dianggap amar makruf nahi munkar. Bahkan ada yang tega meledakkan bom di tengah-tengah keramaian. Kalau yang melakukan kekerasan dan pengrusakan itu bukan orang Indonesia, mungkin kita bisa mengatakan itu pihak yang iri dan dengki kepada kita. Tapi kalau itu orang Indonesia sendiri, kita jadi bingung.

Kalau jama’ah yang merupakan sekedar anak-anak-buah, kita masih bisa mengerti. Tapi mereka yang merupakan imam-imam dan ustadz-ustadz itu masakan tidak mengenal pemimpin agung panutan umat Islam Nabi Muhammad SAW yang bassam, wajahnya tersenyum menyenangkan, yang bicaranya lembut, yang sikapnya santun, yang penuh kasih sayang, yang bergaul dengan penuh adab, yang beramar-makruf dengan baik dan bernahi-munkar tidak dengan munkar, yang berjihad dengan aturan dan etika?

Saya pikir, inilah yang merupakan tantangan utama kiai dan pesantren saat ini. Mereka --yang memiliki sanad, mata rantai keIslaman sampai ke Rasulullah SAW-- dituntut untuk tampil sebagaimana kiai dan pesantren dulu untuk mengenalkan kerahmatan Islam dan kesantunan serta kasih sayang Nabi Muhammad SAW. Jangan sampai generasi kita dididik oleh mereka yang yang –sadar atau tidak, karena kepentingan atau kebodohan—justru ingin mencemarkan nama baik Islam dan merusak tanah air kita.(www.gusmus.net)

Mencari Pengganti Gus Dur

Pada 1950-an, KH. Wahid Hasjim, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang juga ayah almarhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pernah mengeluh. Dia mengatakan bahwa “mencari seorang akademisi di dalam NU ibarat mencari tukang es pada pukul 1 malam”.

Begitu sulit mencari “orang pandai” di dalam NU sehingga memaksa para pemimpin organisasi ini merekrut orangorang luar untuk dijadikan anggota NU. Ketika Partai NU keluar sebagai pemenang ketiga pada Pemilu 1955, mereka kesulitan mencari orang yang bisa dikirim ke parlemen.

Untuk mengatasi krisis ini, mereka lalu merekrut beberapa tokoh dari luar seperti Prof Sunarjo (ekonom),Asrul Sani (sutradara), Usmar Ismail (seniman), dan dua orang keturunan Tionghoa Tan Kiem Liong dan Tan Eng Hong (pengusaha) untuk bergabung dengan NU. Saat itu, mencari orang pandai di NU benar-benar seperti mencari tukang es pada jam 1 malam. Amat bisa dimaklumi kalau pada tahun-tahun itu NU mengalami defisit sumber daya manusia.

Sebetulnya bukan tidak ada “orang pandai” di dalam NU. NU sendiri adalah organisasi ulama dan ulama dalam bahasa Arab berarti “orang berilmu”atau “ilmuwan”.Namun, kata “ulama” dalam NU telanjur direduksi hanya menjadi “ilmuwan agama” atau orang yang ahli tentang agama saja. Karena keahlian mereka sangat terbatas, NU mengalami kesulitan ketika jam’iyah ini bertransformasi dari sebuah organisasi keagamaan menjadi partai politik. Partai politik membutuhkan wakil yang terdiri atas para ahli.

Kalau tidak, mereka akan kesulitan menyampaikan aspirasi rakyat di parlemen. Belum lagi harus berhadapan dengan lawan-lawan politik dari berbagai latar belakang profesi dan keahlian. Pada 1950-an, tokohtokoh Islam yang terdidik dan ahli dalam berbagai bidang ilmu (hukum,kedokteran, sains, dll) umumnya dipegang oleh orang-orang Masyumi, selain beberapa yang bergabung ke dalam PNI dan PSI.Sebagian besar tokoh Masyumi adalah orangorang Islam yang pernah menjalani pendidikan modern, baik di Belanda maupun di sekolah-sekolah Belanda yang ada di Indonesia.

Adapun orang NU hanyalah tamatan pesantren yang tidak menguasai ilmu-ilmu umum. Kondisi mengenaskan itu mulai berubah pada tahun 1980-an ketika generasi muda NU berbondong- bondong memasuki perguruan tinggi di kota-kota besar. Urbanisasi dan proyek pembangunan yang dilancarkan Presiden Soeharto menciptakan peluang besar bagi penduduk desa untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dan lebih modern.

Institusi-institusi profesional dan perusahaanperusahaan yang memerlukan tenaga kerja mendorong para pelajar untuk semakin berpikir ke arah pendidikan yang lebih vokasional. Generasi muda NU yang lahir pada akhir 1960-an dan awal 1970- an adalah generasi baby-boomer yang mendapat kesempatan belajar jauh lebih baik dari orangorang tua mereka.

Sebagian besar anak-anak NU yang lahir pada era ini mengenyam pendidikan umum atau pendidikan agama dengan kombinasi pelajaran umum.Pada masa ini, tidak jarang para orang tua NU menyekolahkan anak mereka secara ganda, pagi di sekolah umum (SD) dan sore di sekolah agama (ibtidaiyah).


Jasa Gus Dur

Ledakan bayi-bayi NU mulai dapat dirasakan pada tahun 1990- an dan semakin keras gaungnya setelah memasuki tahun 2000-an. Seperti sudah disebutkan di atas, orang-orang NU kini banyak mengisi jabatan-jabatan dan pos-pos penting, baik di pemerintahan maupun di lembaga-lembaga profesional. Generasi muda NU juga menguasai gerakan masyarakat sipil yang sebelumnya didominasi anak-anak muda kota dan kelompok sekuler.

Yang paling menggembirakan adalah bahwa NU juga leading dalam pengembangan pemikiran keagamaan, khususnyayangmenyangkut wacana pembaruan Islam. Umum diketahui bahwa gerakan pembaruan keagamaan adalah milik kaum modernis. Gerakan pembaruan Islam pertama dimulai oleh kaum modernis di Sumatera dengan didirikannya sekolah-sekolah modern seperti Adabiyah, Jembatan Besi, dan Thawalib.

Di Jawa, gerakan pembaruan Islam juga diusung oleh kaum modernis,khususnya Muhammadiyah. Sebelum tahun 1980-an, NU selalu dianggap sebagai organisasi Islam tradisional yang antipembaruan, antipemikiran, dan reaksioner terhadap dunia modern.NU juga sering mendapatkan stereotip sebagai organisasi terbelakang, kolot, dan antikemajuan.

Citra NU mengalami perubahan yang luar biasa sejak pertengahan tahun 1980-an, khususnya ketika Abdurrahman Wahid atau Gus Dur memimpin jam’iyah ini. Gus Dur melakukan suatu gebrakan yang tak pernah dilakukan para pendahulunya.Dia membawa NU dari organisasi yang “kolot” dan “terbelakang” menjadi sebuah lembaga yang sangat dinamis. Pada era Gus Dur-lah NU mengalami artikulasi intelektual yang sangat tinggi dan mampu melampaui pencapaian organisasi-organisasi Islam modernis lainnya.

Gus Dur sendiri adalah ikon bagi banyak isu penting yang diusung gerakan masyarakat sipil di Indonesia. Dia menjadi ikon demokrasi, HAM,kebebasan, dan pluralisme. Sosok Gus Dur telah mengubah citra NU menjadi sebuah gerakan modern yang pluralis, toleran, dan prokemajuan. Jasa terbesar Gus Dur adalah membuka ruang kebebasan berpikir di dalam NU dan mendorong anak-anak muda NU untuk berani berpikir dan berekspresi.

Gus Dur rela menjadi pelindung mereka dari kritik dan serangan kiai-kiai yang tak sejalan dengan gagasan itu. Gus Dur tak hanya mendorong generasi muda NU untuk mengkaji “kitab kuning” di mana khazanah Islam terpendam, tapi juga melecut mereka untuk menguasai “kitab putih” yang di dalamnya ilmu-ilmu sosial dan pengetahuan umum lainnya tersimpan.

Penerus Gus Dur

Setelah Gus Dur wafat pada 30 Desember silam,warga nahdliyin kembali berbicara tentang nasib NU pasca-Gus Dur. Tiba-tiba mereka rindu akan sosok Gus Dur yang telah begitu banyak memberikan jasa kepada jam’iyah ini. Menjelang Muktamar NU di Makassar pada Maret depan,wacana memunculkan sosok pemimpin seperti Gus Dur kembali menguat. Sebagian orang percaya bahwa sosok Gus Dur akan sulit dicari gantinya.

Sebagian lainnya berpendapat bahwa tidak perlu persis seperti Gus Dur,yang penting adalah orang yang mampu memainkan peran seperti yang dimainkan Gus Dur ketika ia memegang tampuk kepemimpinan NU. Itu berarti orang tersebut haruslah visioner, punya karakter, punya jaringan luas, bisa bergaul dengan siapa saja, mendukung demokrasi, kebebasan, dan HAM, serta melindungi kaum minoritas.

Saya yakin bahwa NU memiliki orang seperti itu.Mengatakan bahwa tidak ada orang yang sanggup menjalani peran Gus Dur sama artinya mengatakan bahwa Gus Dur telah gagal melakukan regenerasi. Tentu saja, orang itu tidak harus sama persis seperti Gus Dur. Jika dia memenuhi kualifikasi Gus Dur dalam hal pengetahuan (agama dan umum), punya karakter,

visioner, bisa berbicara bahasa Inggris,punya jaringan luas di tingkat nasional dan internasional serta mendukung isu-isu kebebasan, demokrasi, dan HAM, maka dia layak meneruskan perjuangan Gus Dur. Saya kira, di Muktamar Makassar nanti,warga NU harus berani memutuskan siapa yang bakal menjadi pemimpin mereka ke depan. Jangan sampai mencari pengganti Gus Dur seperti mencari tukang es pada pukul 1 malam.(*)

NU dan Garasinya

Oleh: Dr. KH. A. Mustofa Bisri

Keluarga Pak Nuas Waja merupakan keluarga desa yang cukup kaya. Di samping rumah yang besar, keluarga ini memiliki sawah, kebun, peternakan, perahu penangkap ikan, toko serba ada, dan masih ada kekayaan dan usaha yang lain.
Keluarga Pak Nuas Waja yang cukup banyak, tidak kesulitan menangani semua harta dan usaha itu, meski pengelolaannya masih secara tradisional. Masing-masing anggota keluarga, sesuai keahliannya diserahi dan bertanggungjawab atas bidang yang dikuasainya. Ini menggarap sawah; ini mengurus kebun; itu menangani toko; itu mengurus peternakan; demikian seterusnya.

Masih ada satu usaha keluarga lagi yang dilakukan bekerja sama dengan pihak-pihak lain. Yaitu, usaha transportasi. Tapi, karena waktu pembagian keuntungan, dirasa kurang adil, akhirnya keluar dan mendirikan usaha transportasi sendiri. Berhubung usaha ini baru bagi mereka, maka diajaknya beberapa personil dari luar yang dianggap mampu dan mengerti seluk-beluk transportasi. Ternyata, usaha baru ini meraih sukses yang luar biasa. Dari empat besar perusahaan transportasi, perusahaan keluarga pak Nuas Waja yang baru ini meraih peringkat ketiga. Dampak dari sukses besar ini, antara lain: personil-personil dari luar yang ikut membantu–atau yang berjanji akan membantu--menangani usaha ini pun menyatakan bergabung total sebagai anggota keluarga. Pak Nuas pun tidak keberatan dan justru senang.

Dampak lain yang jauh lebih penting dan serius, ialah kemaruknya para anggota keluarga terhadap usaha transportasi yang sukses besar ini. Setiap hari sebagian besar mereka berjubelan di garasi; meskipun sebenarnya banyak yang sekedar bermain-main klakson atau memutar-mutar stir mobil, karena memang tak tahu apa yang harus mereka lakukan di garasi itu. Lama-lama, mereka yang bertanggung jawab menggarap sawah, kebun, peternakan, toko, dlsb pun tertarik dan tersedot ikut menjubeli garasi mereka. Sawah pun menjadi bero, kebun tak terawat, toko tak ada yang menjaga, ternak-ternak pada mati, perahu nganggur Bahkan, rumah sendiri sering kosong, banyak perabotan diambil dan dibawa orang tak ada yang tahu. Halamannya kotor tak terurus.

Ketika penguasa negeri ganti dan mendirikan juga usaha transportasi sendiri, keluarga Nuas Waja pun agak pusing. Soalnya cara berusaha penguasa baru ini tidak lazim. Mereka menggunakan cara-cara makhluk rimba untuk memajukan usaha mereka. Tak segan-segan mereka menggunakan tipuan dan kekerasan.Orang dipaksa untuk menggunakan transportasi mereka; yang tidak mau, tahu rasa!

Namun, meski bersaing dengan usaha penguasa yang zalim begitu, usaha keluarga Nuas Waja masih mampu bertahan, walau babak-belur. Bahkan perlakuan penguasa itu justru semakin mengentalkan ‘fanatisme’ keluarga terhadap usaha transportasi ini.

Akan tetapi, penguasa lebih pintar lagi. Dengan kelicikannya, orang pun digiring untuk menyepakati aturan main baru yang agaknya sudah lama mereka rencanakan di bidang transportasi ini. Aturan itu melarang orang berusaha transportasi sendiri-sendiri di rumah. Mereka yang berusaha di bidang transportasi harus nge-pol dan bergabung dalam salah satu dari tiga wadah usaha yang sudah disiapkan. Akhirnya, keluarga Nuas pun bergabung dengan beberapa penguasaha lain, sesuai arahan penguasa. Dan nasib seperti pada masa lampau pun terulang kembali. Keluarga Nuas yang sahamnya paling besar, justru waktu pembagian keuntungan selalu kena tipu dan rugi.

Maka, waktu ada gagasan dari sementara anggota keluarga untuk kembali saja ke jati diri awal mereka, banyak yang mendukung gagasan itu, meskipun dengan alasan yang berbeda-beda. Demikianlah, meskipun seperti malas-malas dan terus menghadapi godaan untuk hanya mengurusi usaha transportasi, anggota keluarga yang biasa menggarap sawah, mulai kembali ke sawah; yang biasa mengurus kebun, kembali ke kebun; yang mengelola toko, kembali ke toko; demikian seterusnya. Sementara itu, mereka yang sudah merasa mapan menjalankan usaha transportasi, sesekali masih mencoba mencari kawan pendukung.



Dunia selalu berubah. Beberapa waktu, setelah pemerintahan ganti lagi dan usaha transportasi kembali bebas, keluarga Nuas Waja pun kembali terseret arus pertransportasian yang kembali marak. Banyak keluarga yang dulu punya usaha sendiri, beramai-ramai menghidupkan kembali usaha transportasi mereka. Garasi pun dibangun dimana-mana. Dan keluarga Nuas Waja pun menghabiskan enersi mereka untuk urusan garasi dan transportasi; termasuk mereka yang busi dan dongkrak pun tak mengenalnya.

***
Mungkin saya terlalu sederhana, tapi tamsil di atas itulah yang selalu saya gunakan untuk menerangkan NU dan Khithahnya kepada orang-orang sederhana di bawah.

Saya ingin mengatakan bahwa memang ada faktor politik di dalam proses kelahiran Khithah NU, tapi bukan berarti politiklah yang harus disalahkan dan oleh karenanya lalu dipahami NU tak lagi menghalalkan–setelah selama ini menghalalkan--politik. Khitthah NU dalam hal ini–karena Khitthah tak sekedar bicara hal ini--sekedar mendudukkan politik dalam proporsi sesuai dengan porsinya. Politik, sama dengan dakwah, pendidikan, ekonomi, dsb., mesti dilihat sebagai khidmah kemasyarakatan yang harus dilakukan secara bertanggungjawab bagi kepentingan bangsa dan negara. (Baca Khitthah NU butir 8)

Agaknya, warga NU memang belum siap untuk menerima NU sebagai organisasi yang baik seperti dituntut Khitthah NU. Setelah perjalanannya sebagai jamaah yang cukup jauh, tiba-tiba warga NU pangling dengan jatidirinya sendiri. “Kesuksesan” mereka dalam kiprah politik, membuat mereka seperti kemaruk, sehingga mempersiapkan diri bagi amal politik sebagai khidmah tak kunjung terpikirkan. Sementara, kehidupan perpolitikan di negeri ini pun tidak mengajarkan perilaku politik yang baik, yang mengarah kepada tercapainya kemaslahatan bersama. Perpolitikan yang hanya mengedepankan kepentingan sesaat bagi kelompok sendiri-sendiri. Di pihak lain, mereka yang terus-menerus menyaksikan praktek-praktek politik yang mengabaikan akhlaqul karimah dan belum pernah merasakan manfaat dari perpolitikan itu, malah justru sering dirugikannya, serta merta menyambut Khitthah NU dengan kegirangan orang mendapat dukungan.
Akibatnya, Khitthah NU yang semestinya menjadi landasan bagi perbaikan menyeluruh untuk kepentingan bersama, hanya dijadikan sekedar alat bagi membenarkan kiprah masing-masing alias hanya dijadikan senjata untuk bertikai antar sesama.

Sebenarnya, dengan tamsil di atas itu, saya ingin mengatakan juga bahwa NU dan Khitthahnya sebenarnya sangat gamblang, mudah dipahami, dan tak ada masalah.

Khitthah NU hanya mengingatkan bahwa NU itu mempunyai tujuan besar dan cita-cita luhur yang untuk mencapainya, mengupayakan dengan berbagai ikhtiar. Bidang garapan dan khidmah NU karenanya bermacam-macam. Masing-masing dilakukan oleh mereka yang memang seharusnya melakukannya (ahlinya).

Namun, sebagaimana Islam dan Pancasila, persoalannya selalu lebih kepada manusianya. Itulah sebabnya, pada waktu menjelang Munas Lampung tahun 1992, ketika Kyai A. Muchith Muzadi diminta PBNU menulis syarah Khitthah, saya sempat mempertanyakan, apanya yang perlu disyarahi? Bukankah Khitthah NU sudah sedemikian jelas bagai matahari siang? Apabila orang tidak bisa melihat matahari, bukan mataharinya yang kurang jelas. Sekarang disyarahi dan besok mungkin dikhasyiahi pun, jika kepentingan NU dan umat masih dinomorsekiankan, insya Allah Khitthah tetap tak kunjung “jelas” bagi mereka yang bersangkutan.

Sejak pertama dimasyarakatkannya Khitthah NU, telah ratusan kali saya bertemu warga NU, yang tokoh maupun bukan; belasan kalau tidak puluhan artikel saya tulis; dan kesimpulan saya tetap seperti itu. Seperti Indonesia ini, manusianyalah yang perlu ‘direformasi’. Karena itu saya selalu ngotot, bahwa penataan diri mestilah merupakan prioritas. NU harus segera diupayakan menjadi jam’iyyah, tidak terus menerus hanya sebagai jamaah.

Khitthah NU ini merupakan landasan dan patokan-patokan dasar yang perwujudannya dengan izin Allah terutama tergantung kepada semangat pemimpin dan warga NU. Jam’iyyah Nahdlatul Ulama hanya akan memperoleh dan mencapai cita-citanya jika pemimpin dan warganya benar-benar meresapi dan mengamalkan Khittah NU ini. (Khotimah Khitthah Nahdlatul Ulama). Wallahu a‘lam.

*) Tulisan lama yang diturunkan kembali ini, bila Anda warga NU, bisa bertanya kepada diri sendiri: mengapa tulisan ini terasa masih relevan?



Sumber: www.gusmus.net

Rabu, 31 Maret 2010

Biografi Mbah Hasyim Asy'arih


Tidak jauh dari jantung kota Jombang ada sebuah dukuh yang bernama Nggedang Desa Tambak Rejo yang dahulu terdapat Pondok Pesantren yang konon pondok tertua di Jombang, dan pengasuhnya Kiai Usman. Beliau adalah seorang kiai besar, alim dan sangat berpengaruh, istri beliau Nyai Lajjinah dan dikaruniai enam anak:





1. Halimah (Winih)
2. Muhammad
3. Leler
4. Fadli
5. Arifah

Halimah kemudian dijodohkan dengan seorang santri ayahandanya yang bernama Asy’ari, ketika itu Halimah masih berumur 4 tahun sedangkan Asy’ari hampir beruisa 25 tahun. Mereka dikarunia 10 anak:


1. Nafi’ah
2. Ahmad Saleh
3. Muhammad Hasyim
4. Radiyah
5. Hasan
6. Anis
7. Fatonah
8. Maimunah
9. Maksun
10. Nahrowi, dan
11. Adnan.


Kiai hasyim dilahirkan pada hari selasa kliwon, 24 Dzul Qa’dah 1287 H bertepatan dengan 14 februari 1871 M di desa nggedang, jombang. Dari garis ibu, halimah, kiai hasyim masih terhitung keturunan ke-8 dari jaka tingkir alias sultan pajang. Jaka Tingkir yang tak lain putra raja Brawijaya VI alias Lembu Peteng adalah sosok yang berhasil mengislamkan Pasuruan dan sekitarnya. Walaupun demikian, kiai hasyim tidak pernah merasakan serba-serbi kerajaan. Ia tumbuh dan dibesarkan di tengah-tengah keluarga kiai. Ayahnya, kiai Asy,ari adlahn pengasuh Pesantren Keras yang berada disebelah selatan jombang.
Kakekanya, kiai Utsman Asy’ari adalah pengasuh pesantren Nggedang, yang santrinya bersal dari seluruh jawa, pada akhir abad 19. Sedangkan buyutnya (ayah dari kakeknya ), kiai Sihah, pendiri pesantren Tambakberas di Jombang.

Sejak kecil, hingga berusia 14 tahun, putra ke-3 dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya (kiai Asy’ari & kiai Ustman). Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar dengan giat dan rajin. Al-hasil, ketika berusia 13 tahun kiai hasyim diberi kesempatan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren karena kiai hasyim sudah terlihat mumpuni.
Keberhasilannya dalam menyerap ilmu-ilmu yang telah diajarkan oleh ayah dan kakeknya tidak membuat kiai hasyim puas diri dalam menuntut ilmu. Dan kiai hasyim pun berencana melanjutkan studinya di pesantren-pesantren lain dari luar daerahnya.

Ketika berusia 15 tahun, kiai hasyim meninggalkan kedua orang tuanya dan memulai pengembaraanya dalam menuntut ilmu. Beliau berpindah-pindah dari pesantren yang satu ke pesantren yang lain.
Mula-mula kiai hasyim nyantri di pesantren Wonokoyo Probolinggo. Kemudian yantri ke Pesantren Langitan, Tuban. Dan setelahnya nyantri ke Pesantren Trenggilis, Semarang. Terus nyantri lagi di Demangan, Bangkalan di Pulau Garam (Madura) di bawah asuhan kiai kholil.

Ada cerita yang cukup mengagumkan tatkala KH.M. Hasyim Asy’ari “ngangsu kawruh” dengan Kiai Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai Khalil bersedih, beliau memberanikan diri untuk bertannya. Kiai Khalil menjawab, bahwa cincin istrinya jatuh di WC, Kiai Hasyim lantas usul agar Kiai Khalil membeli cincin lagi. Namun, Kiai Khalil mengatakan bahwa cincin itu adalah cincin istinya. Setelah melihat kesedihan diwajah guru besarnya itu, Kiai Hasyim menawarkan diri untuk mencari cincin tersebut didalam WC. Akhirnya, Kiai Hasyim benar-benar mencari cincin itu didalam WC, dengan penuh kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan, akhirnya Kiai Hasyim menemukan cincin tersebut. Alangkah bahagianya Kiai Khalil atas keberhasilan Kiai Hasyim itu. Dari kejadian inilah Kiai Hasyim menjadi sangat dekat dengan Kiai Khalil, baik semasa menjadi santrinya maupun setelah kembali kemasyarakat untuk berjuang. Hal ini terbukti dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ yang dibawa KH. As’ad Syamsul Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Syafi’iyah Situbondo).


demi memuaskan jiwanya yang haus akan ilmu pengetahuan di Pesantren Siwalan, Panji (sidoarjo) yang di asuh kiai Ya’qub inilah, kiai hasyim semacam benar-benar menemukan sumber islam yang diinginkan. Kiai Ya’qub dikenal sebagian ulama’ berpandangan luas cukup alim dalam beragama, cukup lama kiai hasyim menimba ilmu di Pesantren Siwalan, dalam kurun waktu sekitar 5 tahun kiai hasyim menimba ilmu di Pesantren Siwalan.

Dengan kecerdasan dan kealiman kiai hasyim maka kiai ya’qup kesengsem berat kapadanya. Akhirnya kiai hasyim di ambilnya sebagai menantu, saat usianya masih 21 tahun, kiai hasyim menikah dengan nyai Chadidjah, putrid kiai ya’qub. Tidak lama setelah menikah kiai hasyim bersama istrinya berangkat ke makkah guna menunaikan ibadah haji. 7 bulan disana, lalu kembali ketanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal.
Tahun 1893 M, kiai hasyim kembali menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di makkah. Beliau menetap di sana selama 7 tahun dan berguru kepada ulama’ulama besar seperti Syekh Ahmad Khatib Minangkabau dan Syekh Mahfuzh at-Termasi di bidang Hadis. Pada tahun 1899 M kiai hasyim kembali ketanah air Indonesia. Dalam perjalanan pulang, kiai hasyim singgah di johor, Malaysia dan mengajar disana selama beberapa kurun waktu. Sesampai di Indonesia kiai hasyim mengajar di pesantren milik kakeknya, kiai ustman di nggedang, jombang.
Tidak lama kemudian kiai hasyim mendirikan pesantren di Tebuireng pada tanggal 12 Rabiul Awal 1317 H (1899 M). tahun.

Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy’ari memosisikan Pesantren Tebuireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional.
Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Cara yang dilakukannya itu mendapat reaksi masyarakat sebab dianggap bidat. Ia dikecam, tetapi tidak mundur dari pendiriannya. Baginya, mengajarkan agama berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan menyiapkan mereka untuk terjun ke masyarakat, adalah salah satu tujuan utama perjuangan Kiai Hasyim Asy’ari.
Meski mendapat kecaman, pesantren Tebuireng menjadi masyur ketika para santri angkatan pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah dan juga menjadi besar.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan Kiai Hasyim. Kini, NU pun berkembang makin pesat. Organisasi ini telah menjadi penyalur bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa.
Meski sudah menjadi tokoh penting dalam NU, ia tetap bersikap toleran terhadap aliran lain. Yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan umat Islam. Pemerintah Belanda bersedia mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan gaji yang cukup besar asalkan mau bekerja sama, tetapi ditolaknya.

Dengan alasan yang tidak diketahui, pada masa awal pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari ditangkap. Berkat bantuan anaknya, K.H. Wahid Hasyim, beberapa bulan kemudian ia dibebaskan dan sesudah itu diangkat menjadi Kepala Urusan Agama. Jabatan itu diterimanya karena terpaksa, tetapi ia tetap mengasuh pesantrennya di Tebuireng.

Sesudah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya Kiai Hasyim Asy’ari membakar semangat para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan.

Pada dasawarsa 1980an dan 1990an terjadi perubahan mengejutkan di dalam lingkungan Nahdlatul Ulama, ormas terbesar di Indonesia. Perubahan yang paling sering disoroti media massa dan sering menjadi bahan kajian akademis ialah proses ‘kembali ke khitthah 1926’: NU menyatakan diri keluar dari politik praktis dan kembali menjadi ‘jam’iyyah diniyyah’, bukan lagi wadah politik. Dengan kata lain, sejak Muktamar Situbondo (1984) para kiai bebas berafiliasi dengan partai politik mana pun (maksudnya dengan Golkar) dan menikmati enaknya kedekatan dengan pemerintah. NU tidak lagi ‘dicurigai’ oleh pemerintah, sehingga segala aktivitasnya – pertemuan, seminar, … – tidak lagi dilarang dan malah sering ‘difasilitasi’. Perubahan tersebut, walaupun merupakan momentum penting dalam sejarah politik Orde Baru, dapat dipahami sebagai sesuai dengan tradisi politik Sunni, yang selalu mencari akomodasi dengan penguasa.

Wafatnya Sang Tokoh


Pada Tanggal 7 Ramadhan 1366 M. jam 9 malam, beliau setelah mengimami Shalat Tarawih, sebagaimana biasanya duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, tiba-tiba datanglah seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kia menemui utusan tersebut dengan didampingi Kiai Ghufron, kemudian tamu itu menyampaikan pesan berupa surat. Entah apa isi surat itu, yang jelas Kiai Hasyim meminta waktu semalam untuk berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya.
Namun kemudian, Kiai Ghufron melaporkan situasi pertempuran dan kondisi pejuang yang semakin tersudut, serta korban rakyat sipil yang kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berkata, “Masya Allah, Masya Allah…” kemudian beliau memegang kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai Ghufron bahwa beliau sedang mengantuk. Sehingga para tamu pamit keluar. Akan tetapi, beliau tidak menjawab, sehingga Kiai Ghufron mendekat dan kemudian meminta kedua tamu tersebut untuik meninggalkan tempat, sedangkan dia sendiri tetap berada di samping Kiai Hasyim Asy’ari. Tak lama kemudian, Kiai Ghufron baru menyadari bahwa Kiai Hasiyim tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia memanggil keluarga dan membujurkan tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada di tempat, misalnya Kiai Yusuf Hasyim yang pada saat itu sedang berada di markas tentara pejuang, walaupun kemudian dapat hadir dan dokter didatangkan (Dokter Angka Nitisastro).
Tak lama kemudian baru diketahui bahwa Kiai Hasyim terkena pendarahan otak. Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Tuhan berkehendak lain pada kekasihnya itu. KH.M. Hasyim Asy’ari wafat pada pukul 03.00 pagi, Tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal 07 Ramadhan 1366 H. Inna LiLlahi wa Inna Ilaihi Raji’un.
Kepergian belaiu ketempat peristirahatan terakhir, diantarkan bela sungkawa yang amat dalam dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil maupun militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU, dan khususnya para santri Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini berbaring di pusara beliau di tenggah Pesantrn Tebuireng. Pada saat mengantar kepergianya, shahabat dan saudara beliau, KH. Wahab hazbulloh, sempat mengemukakan kata sambutan yang pada intinya menjelaskan prinsip hidup belaiu, yakni, “berjuang terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder istirahat”.

Karya Kitab klasik


Peninggalan lain yang sangat berharga adalah sejumlah kitab yang beliau tulis disela-sela kehidupan beliau didalam mendidik santri, mengayomi ribuat umat, membela dan memperjuangkan bumi pertiwi dari penjajahan. Ini merupakan bukti riil dari skap dan prilakunya, pemikiranya dapat dilacak dalam beberapa karyanya yang rata-rata berbahasa arab.
Tetapi sangat diakungkan, karena kuarang lengkapnya dokumentasi, kitab-kitab yang sangat berharga itu lenyap tak tentu rimbanya. Sebenarnya, kitab yang beliau tulis tidak kurang dari dua puluhan judul. Namun diakungkan yang bisa diselamatkan hanya beberapa judul saja, diantaranya:
1. Al-Nurul Mubin Fi Mahabati Sayyidi Mursalin.
Kajian kewajiban beriman, mentaati, mentauladani, berlaku ikhlas, mencinatai Nabi SAW sekaligus sejarah hidupnya
2. Al-Tanbihat al-Wajibat Liman Yashna’u al-Maulida Bi al-Munkarat.
Kajian mengenai maulid nabi dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar
3. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
Kajian mengenai pandangan terhadap bid’ah, Konsisi salah satu madzhab, dan pecahnya umat menjadi 73 golongan
4. Al-Durasul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh.
Kajian tentang wali dan thoriqoh yang terangkum dalam sembilan belas permasalahan.
5. Al-Tibyan Fi Nahyi’an Muqatha’ah al-Arham Wa al-Aqrab Wa al-Akhwal
Kajian tentang pentingnya jalinan silaturahmi antar sesama manusia
6. Adabul ‘Alim Wa Muata’alim.
Pandangan tentang etika belajar dan mengajar didalam pendidikan pesantrren pada khususnya
7. Dlau’ al-Misbah Fi Bayani Ahkami Nikah.
Kajian hukum-hukum nikah, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan
8. Ziyadah Ta’liqot. Kitab yang berisikan polemic beliau dengan syaikh Abdullah bin yasir Pasuruaan