Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dilahirkan dari rahim NU, secara hubungan timbal balik tidak dapat dipisahkan di antara keduanya. PKB dilahirkan atas inisiatif warga NU demi tersalurkannya aspirasi Nahdliyyin-sebutan warga NU yang selama Orde Baru (Orba) mengalami tekanan, sehingga tidak mampu berekspresi secara maksimal.
Sejarah mencatat bahwa ruh PKB adalah warga Nahdliyyin atau dikenal dari kalangan warga Nahdlatul Ulama (NU), hal ini mengingat bahwa deklarator PKB tidak lain adalah kyai dari kalangan NU itu sendiri. Mereka terdiri dari KH. Munasir Ali, KH. Ilyas Ruchiyat, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH. A. Musthofa Bisri, KH. A. Muchit Muzadi.
Sejarah mencatat bahwa ruh PKB adalah warga Nahdliyyin atau dikenal dari kalangan warga Nahdlatul Ulama (NU), hal ini mengingat bahwa deklarator PKB tidak lain adalah kyai dari kalangan NU itu sendiri. Mereka terdiri dari KH. Munasir Ali, KH. Ilyas Ruchiyat, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH. A. Musthofa Bisri, KH. A. Muchit Muzadi.
Dapat dikatakan, terdapat kesamaan Platform antara NU dan PKB. NU yang awalnya di motori oleh KH> Hasyim Asy'ari dan KH. Abdullah Wahab Hasbullah, pada prinsipnya lahir atas sebuah semangat gerakan Islam Moderat, semangat kedamaian dan mampu bersinergi dengan budaya dan tradisi lokal. Yang demikian itu dapat diterjemahkan secara sisi gerakan perjuangan yang dilakukan oleh NU adalah menjadikan Islam Rahmatan Lil 'Alamin, Islam sebagai rahmat bagi semua makhluk di muka bumi. Sementara PKB dilahirkan dengan Platform bukan sebagai partai Islam, melainkan partai inklusif kebangsaan yang bersendikan atas nilai-nilai dan ajaran NU dengan karakteristik yang sangat nasionalis.
Platform politik itu ditegaskan dalam Mabda' Siyasi PKB, antara lain berbunyi; bagi PKB, wujd dari bangsa yang dicitakan itu adalah masyarakat yang terjamin hal asasi kemanusiaannya, mengejawantahkan nilai-nilai kejujuran, kebenaran, kesungguhan dan keterbukaan bersumber pada hati nurani (as-shidiqu), dapat dipercaya, setia dan tepat janji serta mampu memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapi (al-amanah wa al-wafa-u bi al-abdli), bersikap dan bertindak adil dalam segala situasi (al-'adalah), tolong menolong, dalam kebajkan (al-ta'awun), dan konsisten menjalankan ketentuan yang telah diseakati bersama (al-istiqoma), musyawarah dalam menyelesaikan persoalan sosial (al-syura), yang menempatkan demokrasi sebagai pilar utamanya dan persamaan kedudukan setiap warga negara di depan hukum (al-musawa) adalah sekumpulan prinsip-prinsip dasar yang harus selalu ditegakkan.
PKB menyadari arti pentingnya keseragaman serta mengakomodir kepentingan semua pihak, tanpa harus membeda-bedakan suku, ras, agama, sehingga PKB beranggapan bahwa ke-Indonesia-an yang mengacu pada landasan Pancasila, denganpenjiwaan hubungan tali persaudaraan antar sesama yang terikat dengan ikatan keagamaan (ukhuwah diniyah), kebangsaan (ukhuwah wathaniyah), dan kemanusiaan (ukhuwah insaniyah) dengan senantiasa menjunjung tinggi semangat akomodatif, kooperatif dan integratif, tanpa saling mempertentangkan antara satu dengan yang lainnya.
Sikap politik PKB tersebut sejalan dengan NU yang menerima Pancasila sebagai ideologi bangsa dalam Muktamar XXVII di Situbondo pada tahun 1984.
Bagi kalangan kader-kader NU dan PKB menjadi tidak penting untuk mempertentangkan adanya perbedaan yang terjadi antara NU dengan PKB, mengingat pada kenyataannya keduanya memiliki semangat perjuangan yang sama. Adalah individu dari keduanya yang mungkinsaja memiliki perbedaan pandangan yang tentunya dapat diselesaikan secara musyawarah dilandasi atas keinginan tulus untuk kebaikan bersama.
Duet NU-PKB sedikit banyak menguntungkan kedua belah pihak. Di satu sisi PKB mempunyai tanggung jawab moral untuk membela hak-hak mereka. Di sisi lain NU sendiri dapat menyampaikan aspirasi secara leluasa dan terbuka. Hubungan NU-PKB setidaknya dapat dilihat dari tiga hal diantaranya pertama, relasi pada aras teologi-ideologi. Baik NU maupun PKB mempunyai landasan teologis yang sama, yaitu paradigma Ahlussunnah wal jama'ah (Aswaja). salah sati ciri paradigma itu adalah keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara langit dan bumi, antara masa lalu dan masa kini.
Selain itu, teologi Aswaja menjunjung tinggi sikap moderat toleransi, dan kemaslahatan umat. PKB sesungguhnya telah melakukan peran-peran untuk melestarikan eksistensi Aswaja melalui Majlis Silaturrahmi Ulama Rakyat, yang dikenal dengan pengajian bersama Kyai Kampung.
kedua, relasi pada aras kultural. NU sejak muktamar 1984 di Situbondo sudah menegaskan tentang kembali ke khittah 1926. Sikap seperti itu harus dijaga dan dihargai.
Namun, disisi lain, silaturahmi pada ranah kultural tidak bisa dihindari, bahkan harus diutamakan. sebab, sebagaimana dijelaskan tadi, NU dan PKB mempunyai basis teologi yang sama, yaitu Aswaja. NU melestarikan Aswaja melalui ranah-ranah kultural, sedangkan PKB menerjemahkannya pada ranah politik.
disini dibutuhkan kepekaan kader-kader PKB untuk mempunyai inisiatif, terutama dalam rangka menjadika Aswaja sebagai bagian terpenting dalam proses perubahan Bangsa ini. Dalam Munas Alim Ulama di Surabaya, PBNU mengeluarkan keputusan bahwa NKRI dan Pancasila bersifat final bagi bangsa ini, karena dipandang mampu menjaga keutuhan bangsa.
Dalam hal ini, PKB harus terus mengartikulasikan keputusan-keputusan tersebut dalam ranah politik praktis. sebab, dalam realitasnya, kelompok-kelompok yang selama ini ingin merongrong Pancasila dan NKRI mulai merasuki kantong-kantong Nahdliyyin, seperti dengan cara merebut masjid, mengganti ritual, dan mengharamkan tradisi keagamaan NU.
PKB harus mendukung sepenuhnya keputusan PBNU tersebut. Komitmen NU terhadap kebangsaan merupakan sebuah capaian fantastik yang turut memperkukuh bangsa ini. sejak muktamar NU pada 1935 hingga Munas Alim Ulama yang paling mutakhir, NU sama sekali tidak tergiur dengan pendapat-pendapat yang ingin menegakkan khilafah dan negara Islam.
ketiga, relasi dalam aras kebijakan publik. relasi terakhir ini merupakan jantung dan ruh dari perjangan PKB. Sebagai sebuah partai, PKB akan betul-betul dirasakan hadir di tengah-tengah publik bilamana mampu meletakkan keberpihakannya pada masyarakat level paling bawah. Bila berbicara tentang masyarakat yang paling bawah, tidak lain mereka adalah warga nahdliyyin.
Akhirnya, NU dan PKB sama-sama memiliki garis perjuangan demi tegaknya Islam dan Politik Rahmatan Lil 'Alamin, Islam dan Politik yang mampu memberikan rahmat bagi semua makhluk di muka bumi ini.
Platform politik itu ditegaskan dalam Mabda' Siyasi PKB, antara lain berbunyi; bagi PKB, wujd dari bangsa yang dicitakan itu adalah masyarakat yang terjamin hal asasi kemanusiaannya, mengejawantahkan nilai-nilai kejujuran, kebenaran, kesungguhan dan keterbukaan bersumber pada hati nurani (as-shidiqu), dapat dipercaya, setia dan tepat janji serta mampu memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapi (al-amanah wa al-wafa-u bi al-abdli), bersikap dan bertindak adil dalam segala situasi (al-'adalah), tolong menolong, dalam kebajkan (al-ta'awun), dan konsisten menjalankan ketentuan yang telah diseakati bersama (al-istiqoma), musyawarah dalam menyelesaikan persoalan sosial (al-syura), yang menempatkan demokrasi sebagai pilar utamanya dan persamaan kedudukan setiap warga negara di depan hukum (al-musawa) adalah sekumpulan prinsip-prinsip dasar yang harus selalu ditegakkan.
PKB menyadari arti pentingnya keseragaman serta mengakomodir kepentingan semua pihak, tanpa harus membeda-bedakan suku, ras, agama, sehingga PKB beranggapan bahwa ke-Indonesia-an yang mengacu pada landasan Pancasila, denganpenjiwaan hubungan tali persaudaraan antar sesama yang terikat dengan ikatan keagamaan (ukhuwah diniyah), kebangsaan (ukhuwah wathaniyah), dan kemanusiaan (ukhuwah insaniyah) dengan senantiasa menjunjung tinggi semangat akomodatif, kooperatif dan integratif, tanpa saling mempertentangkan antara satu dengan yang lainnya.
Sikap politik PKB tersebut sejalan dengan NU yang menerima Pancasila sebagai ideologi bangsa dalam Muktamar XXVII di Situbondo pada tahun 1984.
Bagi kalangan kader-kader NU dan PKB menjadi tidak penting untuk mempertentangkan adanya perbedaan yang terjadi antara NU dengan PKB, mengingat pada kenyataannya keduanya memiliki semangat perjuangan yang sama. Adalah individu dari keduanya yang mungkinsaja memiliki perbedaan pandangan yang tentunya dapat diselesaikan secara musyawarah dilandasi atas keinginan tulus untuk kebaikan bersama.
Duet NU-PKB sedikit banyak menguntungkan kedua belah pihak. Di satu sisi PKB mempunyai tanggung jawab moral untuk membela hak-hak mereka. Di sisi lain NU sendiri dapat menyampaikan aspirasi secara leluasa dan terbuka. Hubungan NU-PKB setidaknya dapat dilihat dari tiga hal diantaranya pertama, relasi pada aras teologi-ideologi. Baik NU maupun PKB mempunyai landasan teologis yang sama, yaitu paradigma Ahlussunnah wal jama'ah (Aswaja). salah sati ciri paradigma itu adalah keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara langit dan bumi, antara masa lalu dan masa kini.
Selain itu, teologi Aswaja menjunjung tinggi sikap moderat toleransi, dan kemaslahatan umat. PKB sesungguhnya telah melakukan peran-peran untuk melestarikan eksistensi Aswaja melalui Majlis Silaturrahmi Ulama Rakyat, yang dikenal dengan pengajian bersama Kyai Kampung.
kedua, relasi pada aras kultural. NU sejak muktamar 1984 di Situbondo sudah menegaskan tentang kembali ke khittah 1926. Sikap seperti itu harus dijaga dan dihargai.
Namun, disisi lain, silaturahmi pada ranah kultural tidak bisa dihindari, bahkan harus diutamakan. sebab, sebagaimana dijelaskan tadi, NU dan PKB mempunyai basis teologi yang sama, yaitu Aswaja. NU melestarikan Aswaja melalui ranah-ranah kultural, sedangkan PKB menerjemahkannya pada ranah politik.
disini dibutuhkan kepekaan kader-kader PKB untuk mempunyai inisiatif, terutama dalam rangka menjadika Aswaja sebagai bagian terpenting dalam proses perubahan Bangsa ini. Dalam Munas Alim Ulama di Surabaya, PBNU mengeluarkan keputusan bahwa NKRI dan Pancasila bersifat final bagi bangsa ini, karena dipandang mampu menjaga keutuhan bangsa.
Dalam hal ini, PKB harus terus mengartikulasikan keputusan-keputusan tersebut dalam ranah politik praktis. sebab, dalam realitasnya, kelompok-kelompok yang selama ini ingin merongrong Pancasila dan NKRI mulai merasuki kantong-kantong Nahdliyyin, seperti dengan cara merebut masjid, mengganti ritual, dan mengharamkan tradisi keagamaan NU.
PKB harus mendukung sepenuhnya keputusan PBNU tersebut. Komitmen NU terhadap kebangsaan merupakan sebuah capaian fantastik yang turut memperkukuh bangsa ini. sejak muktamar NU pada 1935 hingga Munas Alim Ulama yang paling mutakhir, NU sama sekali tidak tergiur dengan pendapat-pendapat yang ingin menegakkan khilafah dan negara Islam.
ketiga, relasi dalam aras kebijakan publik. relasi terakhir ini merupakan jantung dan ruh dari perjangan PKB. Sebagai sebuah partai, PKB akan betul-betul dirasakan hadir di tengah-tengah publik bilamana mampu meletakkan keberpihakannya pada masyarakat level paling bawah. Bila berbicara tentang masyarakat yang paling bawah, tidak lain mereka adalah warga nahdliyyin.
Akhirnya, NU dan PKB sama-sama memiliki garis perjuangan demi tegaknya Islam dan Politik Rahmatan Lil 'Alamin, Islam dan Politik yang mampu memberikan rahmat bagi semua makhluk di muka bumi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar